Bab 6

149 4 0
                                    

"Sebenarnya ada banyak hal yang bisa suami kamu lakuin agar dia bisa lebih mudah membuahi kamu," ujar Abdi memberitahu.

Jangan tanya sebesar apa rasa canggung yang dia hadapi kini. Tidak ada dalam bayangannya sebelumnya, kalau Maudya, teman masa kecilnya ini, akan menjadi pasien pertamanya saat bekerja di Rumah sakit orangtua Maudya.

Rasanya aneh, malu bercampur sungkan. Entah kenapa, waktu enam tahun itu mengubah banyak gerak dan baur yang dirasakan Abdi pada Maudya. Entahlah, apa faktor utamanya adalah Maudya sudah menikah?

"Kayak gimana misalnya?" tanya Maudya.

Meski dia juga dibalut rasa canggung, malu, segan, hingga tidak enak, namun Maudya tetap tidak mau melewatkan kesempatan ini. Ya, temannya inilah satu-satunya yang bisa diajaknya bekerja sama. Karena hanya pada Abdilah dia bisa berkata jujur, bahwa masalah yang terjadi bukan ada pada dirinya melainkan pada suaminya.

"Misalnya, berolahraga secara teratur, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung nutrisi zinc dan magnesium. Istirahat yang cukup, banyak mengelola pikiran yang sering stres, dan juga bisa berhenti melakukan hubungan dulu," jelas Abdi sesuai apa yang dia pelajari tentang hal-hal tersebut.

"Berhenti dulu?" tanya Maudya malah tidak yakin. Abdi mengangguk-angguk.

"Emang bisa?"

"Coba aja dulu. Kalau nggak bisa juga, ya kalau kamu mau kamu bisa jalani program hamil. Di sana nanti banyak disampaikan hal-hal yang membuat kamu bisa secepatnya dapat momongan," jelas pria itu benar-benar tulus. Dia melakukan tugasnya sebagai seorang dokter dengan baik walau ada rasa sesak yang dia saja tidak bisa mengartikannya.

"Oke, thanks ya, Di? Kayaknya kalau kamu nggak datang, aku bakal lebih sulit seratus kali karena harus berbohong sama setiap dokter," tutur Maudya merasa lega.

Sepasang asli tebal milik pria itu pun menyatu. "Kenapa emang kalau kamu jujur tentang suami kamu itu?"

"Di, kamu pasti paham gimana rasanya jadi Bian. Kalau posisi kamu yang ada pada diri Bian, pasti mikir gitu juga. Malu, Di. Dia juga takut kalau sewaktu-waktu masalah ini bisa buat dia merasa nggak pantas sama siapa pun. Bukannya aku udah cerita ya sama kamu? Kalau suami aku itu nggak punya siapa-siapa lagi kecuali aku. Kalau bukan aku yang bantuin dia, siapa lagi, Di?"

Abdi pun segera manggut-manggut, mencoba mengerti seperti apa kata Maudya. Tapi apa yang dimengerti oleh Abdi? Tidak ada! Pria berbadan padat itu sama sekali tidak memberi pengertian pada Bian sosok yang mereka bicarakan. Harusnya Bian bisa menerima alih-alih membuat istrinya terus-menerus menebar kebohongan. Harusnya berkata blak-blakan adalah contoh pasangan yang baik dan pasangan yang akan terjamin kualitasnya hingga tua tiba.

Acara keluhan itu berakhir. Maudya lantas bangun dari kursi pasien hendak pamit. "Eh iya, kamu tinggal di rumah ya sekarang? Mama bilang kita barengan aja pulang biar sekalian buat kunci dari sidik jari kamu. Jadi biar bisa pulang sendirian tanpa nunggu orang rumah dulu." Dia baru ingat pesan ibunya.

"Oh oke. Bentar, aku ganti baju dulu. Keluar sana! Jelalatan kamu nggak ilang-ilang ya!" tuding Abdi ingat tentang Maudya yang dulu sering iseng mengintip para teman laki-laki yang sedang ganti baju.

Sontak saja perempuan itu menajamkan matanya. "Zaman udah beda! Jangan stuck di satu waktu, Di. Ingat ya, setiap orang punya perubahannya masing-masing!" tukasnya lantas melenggang pergi memilih menunggu di luar.

Sepertinya benar, pemilik nama lengkap Abdi Julham Prayoga itu sungguh sedang berhenti diwaktu yang dia inginkan sehingga sulit menerima kalau perubahan antara dia dan Maudya sudah terlampau jauh.

Pria itu tersenyum kecut mendengarnya.

***

[Mas, aku pulang ke rumah mama bentar. Teman lama aku yang namanya Abdi tinggal di rumah, jadi aku mau ngasih tahu beberapa hal sama dia. Dia bakalan netap di sini jadi dokter yang akan kerja di Rumah sakit. Kamu pulangnya malam banget ya, Mas?]

Pesan singkat yang dikirim Maudya kini sukses disapa sepasang mata Bian. Bukannya langsung membalas, dia justru meletakkan ponsel cukup kasar ke atas meja, lantas menghisap rokok yang tersemat di antara jari telunjuk dan tengahnya.

Sial! Kata-kata Maudya tadi rupanya membuat Bian tersinggung. Dia berpikir, Kenapa orang lain justru mudah mendapatkan atensi positif dari mertuanya, sedangkan dia, sudah berhubungan lama saja tetap penghinaan yang kerap dia dapati.

Suara pintu toilet terbuka membuatnya mengalihkan pandangan. Tubuh yang bersandar di kursi kerja itu tiba-tiba bergerak tegak, begitu potret Maya menyapa sepasang matanya.

"Gimana, udah nyaman lagi? Masih sakit nggak?" tanyanya memastikan.

Maya datang dengan busana yang sempat dibeli Bian, ralat, diambilnya dari pajangan di butik. Sebuah gaun mini elegan yang cocok digunakan ke acara formal maupun informal. Kini, balutan yang dikenakan Maya hampir menyerupai potret Maudya sehari-hari. Pemilik butik ternama itu juga kerap mengenakan dres dengan panjang sebetis. Hanya saja, Maudya terlalu tertutup, sedangkan Maya cukup vulgar yang mana bagian tubuh belakangnya benar-benar terekspos-hanya tersisa beberapa centimeter untuk sampai di pinggang rampingnya.

"Udah nih, makasih, ya?" sahut Maya kini duduk di depan Bian dengan sengaja menarik satu kursi agar lebih dekat dengan pria itu.

Si pria berwajah sedikit kotak itu pun lantas manggut-manggut. Dia kembali menghisap rokoknya yang mana bisa dibaca oleh Maya kalau mantannya ini sedang dilanda masalah.

"Kenapa? Kamu ada masalah?" tanya Maya kemudian. Dia juga ikut merebut rokok di atas meja siap melakukan yang sama seperti Bian.

Alih-alih melarang, Bian justru dibuat tersenyum sebab kebiasaan Maya juga ternyata belum hilang. Gadis itu juga rupanya masih suka merokok yang mana membuat Bian merasa punya teman satu tujuan.

"Kamu masih ngerokok juga rupanya? Aku pikir udah nggak," ucap Bian sambil menyalakan pemantik.

Maya melepas desah tawa kecil. "Kenapa? Ada yang ngelarang kamu merokok? Kayaknya kamu diam-diam buat lakuin ini? Karena dari kemarin aku lihat baru ini kamu mengeluarkan rokokmu," selidik Maya ingin tahu bagaimana kehidupan mantannya ini setelah dia tinggalkan dulu.

"Duh, jangan bahas tentang aku. Bahas tentang kamu, May. Gimana keadaan kamu selama ini? Ada yang spesial buat di ceritain?" Bian masih menolak membahas tentang dirinya.

"Nothing special. Bagiku semuanya sama."

"Oh iya? Btw, kenapa kamu pulang? Ada yang yang salah?"

"Karena kamu," ungkap Maya jujur. Bahu Bian jadi menegang tiba-tiba. "Aku banyak dengar tentang kamu di beberapa artikel. Aku jadi penasaran kehidupan kamu sekarang kayak gimana."

"May, aku udah punya istri sekarang ...."

Maya langsung saja tertawa garing. " So i can't be close to you?" tuturnya bergidik lucu. "Oh come on, Bra. Sejak kapan kamu punya pemikiran se-sempit itu? Cuma karena kita berstatus mantan, juga kamu yang udah nikah, bukan berarti kita nggak boleh berinteraksi satu sama lain. Lagi pula kita nggak buat kesalahan apa-apa. Just working, just talking, just being around busy work. Iya, 'kan?"

Tentu saja apa yang dikatakan Maya itu fakta. Bian juga bukan orang yang punya minsed zaman kuno yang kerap diterpakan orang-orang; bahwa seorang mantan harusnya tidak boleh berteman.

"Kamu benar." Bian mengangkat bahu. "Entahlah, May. Kadang aku over thinking untuk masalah pernikahanku. Aku takut aja kalau sewaktu-waktu aku buat kesalahan yang ujung-ujungnya aku yang dipandang rendah," ungkapnya tak sadar membagi isi hati.

Maya membisu sejenak, sekilas dibuat salah fokus pada sosok tampan di depannya ini. Matanya memindai dengan seksama setiap inci wajah Bian. Dan sejak kapan agaknya dia baru menyadari bahwa mantan kekasihnya ini kembali membuatnya terpana.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang