Bab 46

52 0 0
                                    

Sandriana usai sudah merapikan tampilan sang putri. Kecantikan alami Maudya kembali terpancar polos tanpa sapuan riasan.

"Gini, 'kan anak Mama jadi cantik, nggak kayak gembel lagi," kata Sandriana.

"Ma, emang ini nggak kepucetan ya? Jelek banget tahu kalau nggak pake lipstik," keluh Maudya sambil mengamati wajahnya di cermin kecil yang dia pegang.

"Udah sini, pake lip blam aja." Sandrina mendekat lagi lantas disambut senang Maudya yang memajukan bibirnya.

Aktifitas itu segera disambut mata Abdi juga sang ayah, Antonio. Lain hal dengan Antonio yang langsung melenggang masuk, Abdi justru terpaku pada raut manis wajah Maudya. Cantik. Apalagi saat dia meratakan lipstik yang baru saja dioleskan.

"Gini, 'kan cantik, Ma. Nggak pucet banget," ucapnya kini tersenyum lebar. Melihat senyuman itu ikut mengajak sudut bibir Abdi terangkat.

Sadar, Antonio melirik ke belakang sebab tak mendapati Abdi. Rupanya lelaki itu tengah sibuk dengan cinta terpendamnya yang kayaknya tetap tidak berniat meminta sebuah balasan atas perasaan tersebut.

"Oi! Malah bengong," tegur Antonio, sengaja.

Tidak hanya Abdi yang segera menoleh, Maudya serta Sandriana jadi ikut melirik ke arahnya. "Eh." Abdi tersebut lebar sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.

"Abdi mah kebiasaan ngelamun. Mikirin apa sih?" seru Sandriana sambil berjalan ikut berkumpul di sofa.

"Mikirin kekasih gelapnya, Ma," cerocos Antonio tak ada aba-aba.

Refleks Maudya melirik Abdi yang mana laki-laki itu juga rupanya langsung menoleh ke arahnya. Namun, di detik berikutnya dia membuang pandangan ke arah sang ayah dengan Maya menyipit.

"Ohh, kamu udah punya pacar, Di? Kok Mama nggak tahu? Terus kenapa juga dinamai kekasih gelap? Kamu suka sama istri orang?" timpa Sandriana santai sambil menatap meja dengan makanan yang baru saja dibawa.

Antonio menahan tawa, sementara Abdi berjengit sedikit tak terima. "Eh, nggak, Ma. Mama percayaan aja omongan Papa. Ngarang aja Papa itu," ujarnya membantah.

"Mama nggak protes kok kalau pun emang iya." Sandriana memandang Abdi. Di sudut sana diam-diam Maudya lamat mendengarkan. "Asalkan kamu bukan alasan penghancur rumah tangannya. Sekali dia nggak mau kamu pergi, ya siapa yang tahu tentang perubahan hati? Cuma itu aja kuncinya, Di. Jangan jadi alasan untuk ngehancurin kebahagiaan orang lain untuk kepentingan pribadi."

Dalam diam Abdi menatap sang ayah yang menyibukkan diri dengan sebotol air mineral. Begitu mendapati tatap sang putra, bahunya pun terangkat.

"Abdi belum coba mikir ke sana, Ma. Abdi bahagia kalau dia bahagia. Lagi pula, dia nggak akan pernah nganggap Abdi sebagai laki-laki. Kalau nggak teman yang gitu ...." ungkap Abdi bercerita.

"Jangan pesimis, Di. Ingat sebuah quote? 'Kalau tidak bisa mendapatkan gadismu, maka kutunggu jandamu'," ujar Antonio dengan menggoda pria gagah di depannya yang sudah tak tahan untuk tidak tersenyum. "Aw!"

"Papa ini! Ngajarin anaknya yang nggak-nggak!" sembur Sandriana sambil memukul lengan penuh daging itu.

"Main pukul-pukul aja, Ma," sungutnya tak terima.

"Lagian, Papa aneh. Masa ngasih support sama anak sendiri kayak gitu?"

"Abdinya aja nggak protes kok. Ya, 'kan, Di?" tanya Antonio sambil menarik turunkan kedua alisnya.

"Udah, Pa ...." Pipi Abdi kali ini benar-benar memerah. Astaga, dia jadi malu sekarang. Padahal itu bukanlah sebuah pembicaraan yang mendasar. Antonio tak tahan untuk tidak tertawa kecil.

"Udah, udah!" lerai Sandriana. "Ini yang mana nih punya Maudya? Kok semuanya jadi enak gini?"

Yang namanya di sebut pun jadi perlahan menurunkan senyuman. Pembicaraan tadi rupanya ikut membuatnya bergidik lucu. Apalagi melihat gelagat Abdi yang seketika salah tingkah. Lihat saja, kenapa pula dia tiba-tiba menyobek-nyobek merk air mineral ditangannya?

"Nasi hangat sama lauk rica-rica daging sapi itu buat Maudya, Ma. Buah-buahan segar, sama susu itu juga punya dia," jelas Abdi sambil menepikan satu-satu.

"Terus, punya Mama mana?"

Abdi menatap Antonio yang mana pria gempal itu segera menjawab. "Ini, ' kan ada. Nasi anget pake ayam pop."

"Masa-"

"Ma, jangan protes lagi dong. Lihat tuh anak kamu, udah diam nggak bersuara dari tadi. Udah beneran lapar itu, Ma. Nggak takut apa nanti kita yang dimakan?" potong Antonio.

"Pa ...." gumam Maudya menggeleng.

"Maudy bisa makan sendiri, Sayang?" Sandrina bertanya sambil menyiapkan makanan.

"Bisa kok, Ma. Pake tangan kiri tapi. Ab... Mas Abdi bikin jarumnya di tangan kanan soalnya," jawabnya yang sempat terjeda dipanggilan nama Abdi.

Menatap pria itu entah kenapa tidak lagi menimbulkan rasa benci yang kemarin. Sesuatu yang indah dia dapati dalam seketika walau dia tidak yakin, dibagian mana agaknya Abdi yang mengubah prespektifnya itu. Padahal kalau di pikir-pikir Abdi hanya melakukan sesuatu yang memang seharusnya.

"Papa deh yang nyiapin Maudya, Mama udah lapar banget nih. Tolong ya, Pa?" pinta sang istri.

"Ya ampun, Ma." Antonio menelan sisa nasi dimulutnya. "Mama pikir Papa lagi apa sekarang? Tidur?" lanjutnya sarkas.

"Sini, Ma, Abdi aja. Mama makan aja dulu." Abdi inisiatif menawarkan diri. Dia segera bangun sambil meraih sepiring nasi yang sudah di siapkan.

"Makasih ya, Sayang. Kamu emang paling negeri. Nggak kayak Papa kamu ini, egois!"

"Kena lagi, kena lagi." Antonio menggeleng-geleng pasrah sudah.

Sambil berjalan menghampiri Maudya, Abdi hanya tersenyum kecil mendengarnya. Begitu tiba di depan perempuan itu, mendadak lagi debar dadanya memompa. Tapi yang ini keterlaluan. Seingatnya, kemarin-kemarin dia masih bisa menahan walau kadang berlama-lama dengan Maudya. Tapi saat ini, kenapa hanya dengan menatap mata cantik Maudya dia sudah berdebar tak menentu?

"Aku bisa sendiri. Kalau emang lapar, makan aja dulu," ucap Maudya, tidak enak.

Abdi duduk di atas ranjang kini. Dia siap menyuapi Maudya. "Aku belum lapar. Lagian aku lagi jaga bentuk badan akhir-akhir ini. Lemak udah kayak dosa, numpuk banyak banget," ucapnya, jujur. Dia tidak berbohong tentang itu.

Yang di ajak berbicara pun membuka mulutnya begitu satu sendok nasi disodorkan Abdi. Dalam diam dia memandangi wajah Abdi yang saat ini sudah fokus lagi menyusun nasi dan lauk untuk suapan berikutnya.

Yang harusnya berada disini itu suaminya, akan tetapi tetap saja Abdi yang ada di pandangannya. Luka yang kemarin yang diberikan Bian, hanya Abdi jugalah yang ada disaat-saat dia lemah. Lantas, masihkah ada alasan untuk Maudya tetap membenci lelaki baik ini?

Dia begitu tulus. Bahkan untuk cintanya yang mungkin kata orang sudah lumutan itu, tetap tidak berharap untuk dibalas. Apa ada orang yang mencintai seseorang namun enggan berjuang mendapatkannya hanya karena dalil cintanya tak perlu harus memiliki?

Sungguh mustahil rasanya jika memang begitu adanya. Mungkin jika itu orang lain, tidak akan seproduktif Abdi dalam mempertahankan cintanya juga memulangkan cintanya ke tempat yang tidak seharusnya.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang