Bab 21

70 2 0
                                    

Astaga!

Tiba-tiba saja Maudya berjengit samar, saat pesan itu benar-benar sampai pada sorot matanya. Dana sebesar itu mau di apakan oleh Bian?

Mungkin jadi pertanyaan, kenapa Maudya bisa tahu pengeluaran suaminya sedangkan kartu atm yang digunakan Bian adalah milik laki-laki itu pribadi. Sekali lagi, Maudya itu perempuan yang bijaksana. Demi mengantisipasi terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Maudya juga mendaftarkan m-banking yang sama di iPadnya. Bukan berniat melakukannya secara diam-diam untuk memata-matai sang suami, dia hanya berpikir jika ponsel Bian rusak, atau sebagainya, masih ada iPadnya yang menjadi jalan pintas.

Tapi siapa yang menyangka, kalau Maudya akan mendapatkan kejutan yang luar biasa seperti ini? Yang membuat Maudya kian berpikir keras, sebab uang yang baru saja keluar itu berasal dari rekening pribadi suaminya alih-alih rekening kantor. Tentu jadi pertanyaan, untuk apa Bian mengeluarkan uang pribadi sampai sebanyak itu?

"Aku pikir keinginan terbesar kamu tahun ini mau jadi seorang ibu?" ujar Abdi yang mana segera melenyapkan lamunan Maudya.

"Uh?" Maudya menoleh, lantas melirik buku catatannya yang sedang di pegang Abdi. Dia jadi tahu apa maksud pertanyaan tersebut. "Cancel."

"Why?"

Maudya mengangkat bahunya sambil berjalan mendekat. "Entahlah, aku pikir bukan bayinya yang belum mau datang, tapi emang aku yang belum siap."

Abdi mengerutkan kening, bingung. Catatan di tangannya di rebut oleh Maudya, lantas mendapati perempuan itu kembali membisu sambil menatap catatan yang dia cetak sendiri.

"Tapi yang aku tahu, kamu udah benar-benar pengin. Aku lihat juga di sana kamu nulis mau jadi ibu, kenapa justru di coret lagi?" tanya Abdi hendak mengenyahkan lamunan Maudya.

"Aku merasa kalau aku belum benar-benar siap buat jadi orangtua." Maudya menatap Abdi. "Aku nggak mau ngasih kehidupan yang kurang berkualitas sama anak aku nanti. Kayak mama papa, aku juga harus sempurna jadi orangtua. Aku mau anak aku lebih beruntung dan lebih bahagia dari aku. That's my hope and what I've been planning lately."

Tidak hanya cantik, pintar, intelektual, Maudya ini juga sangat punya pola pikir yang open minded. Siapa laki-laki yang tidak terpengaruh oleh semua kualitas yang perempuan ini pancarkan? Lagi-lagi, Abdi jadi terhipnotis lagi. Sungguh dan sangat jujur, tipe ideal Abdi tepat seperti Maudya. Punya pikiran terbuka, juga punya rencana masa depan yang tidak muluk-muluk hanya diam di tempat.

"That's a good plan and reason. Aku pikir kamu masih nggak mau tahu tentang fase-fase kayak gini, sama kayak zaman SMA dulu. Ternyata kamu udah banyak berubah," tanggap Abdi, tampak bangga.

"Mas Abdi, semua manusia itu punya fase perubahan dalam dirinya sendiri. Jangan menghakimi seseorang hanya karena mengenal masa lalunya dan lantas harus tetap sama di masa mendatang. Kupu-kupu juga butuh waktu buat berubah, sama kayak kita semua."

Abdi segera manggut-manggut, ikut membenarkan. Diliriknya lagi perempuan itu, yang kini beralih menyalakan layar laptop. Tak beberapa lama, Maudya dapat panggilan yang memang sudah di tunggu. Dari siapa lagi kalau bukan klien istimewanya dari Paris, pasangan terfenomena sepanjang circle yang dia punya.

Pasalnya, Fristy berhasil menikahi laki-laki asli luar yang mana sejak dulu Fristy mendambakan hal tersebut.

"Haloooo! Maudyyyyyy!" pekik Fristy dari seberang telepon yang menggunakan fitur Video Call. Abdi bahkan jadi mendesah sendiri, selalu saja mendapati tingkah yang berlebihan dari bangsa berjenis perempuan ini!

Maudya ikut melambai-lambai, sama antusiasnya. "Halo, Fiiii! Apa kabar?"

"Of course it's always good!" sahut perempuan berambut pirang di sana cukup bangga. "How about you?"

"Aku baik. Akan selalu baik dan baik!" Maudya ikut-ikutan memamerkan dirinya dengan keadaan baik.

"Wait, wait, wait ... kayaknya cowok di sebelah kamu nggak asing deh. Tapi siapa ya?"

Maudya menatap Abdi yang hanya memperlihatkan separuh badannya. Yang bersangkutan hanya diam memasang wajah datar, seolah part yang ini hanya untuk membuat situasi tidak menjadi garing.

"Kamu lupa? Ini Mas Abdi, kakak kelas kita dulu tahu!" jelas Maudya sambil menarik lengan Abdi agar lebih menunjukkan diri di hadapan kamera.

"Oh my God! Jadi kamu nikahnya sama Abdi? Bukannya kemarin sama ... siapa namanya? Aku jadi lupa."

"Huhstt! Sembarangan aja!" bantah Maudya secepatnya. "Dia itu resmi jadi kakak laki-laki aku! Mama papa ngangkat dia jadi anak. Keren, kan?" jelas Maudya benar-benar bangga.

Lain hal dengan Abdi yang lagi-lagi memaksa tersenyum. Please! Sekali saja, buat Abdi merasa kalau hubungan mereka memang lebih pantas sebagai kakak adik. Agar rasa tidak suka itu tidak lagi muncul hanya karena Maudya menganggapnya seorang kakak.

"Oh gitu?" Fristy manggut-manggut. "Tapi kalian mirip lho. Kayaknya memang ditakdirkan jadi adek kakak," ungkap Fristy yang mana membuat Maudya mendongak menatap Abdi.

Laki-laki itu langsung ikut membalas sambil mengangkat dua alisnya. "Kenapa? Nggak terima di bilang mirip?" tukasnya.

"Nggak. Aku cuma mau lihat, di bagian mananya kita yang mirip?"

"Nggak tahu. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, mana ada anak guguk mirip sama anak manusia. Heran-Aw!"

Abdi segera meringis, saat Maudya mencubitnya di perut. Siapa yang tidak memekik?

"Mulut tuh di jaga kenapa sih? Aku bilangin mama papa. Liat aja nanti!" sungut Maudya.

Abdi membalasnya dengan bibir yang monyong-monyong, seolah meniru ucapan Maudya namun tanpa kata. Hal itu juga yang membuatnya kena hantam dua kali. Kali ini di lengan kanan.

"Dah ah, Fi, nggak usah di ladenin si Kang Rusuh ini. Mending kamu bilang ukuran baju biasa kamu, biar aku mulai buat pola," kata Maudya tidak ingin melanjutkan pertengkaran kecil yang kerap terjadi.

"Of course. Ukuran baju aku itu sama kayak kamu, Dy, tapi lebihin dikit." Fristy terlihat mencubit angin untuk menegaskan sedikit yang dia maksud. "Kalau Gilbert ... uem ... duh, aku lupa lagi ukurannya."

"Emang dia mana? Coba lihat, aku bisa mengalkulasikannya kalau lihat posturnya."

"Ya ampun, Dyyy, kamu tahu nggak? Perayaan ini benar-benar besar-besaran banget. Suami aku itu nyuruh aku istirahat penuh sementara dia keluyuran ke sana kemari buat pantau keadaan. Mana mungkin kita dapatin dia di sini," ceritanya, tidak punya pilihan.

"Ya terus, gimana dong?"

Fristy menimbang-nimbang hingga sebuah ide terpikir. "Kenapa ribet banget sih! Kan ada Kak Abdi di sana."

Maudya melirik, lalu menatap penuh tanya lagi pada layar monitor untuk mendapatkan penjelasan Fristy. "Maksudnya?"

"Kayaknya ukuran Kak Abdi sama deh sama suami aku. Kak Abdi tingginya berapa sih?" tanya Fristy.

"Satu lapan enam," sahut yang bersangkutan.

"Oke, fix! Pake dia aja untuk ukuran Gilbert. Aku yakin pasti pas!" ungkap Fristy yakin.

"Fi, kamu yakin?" Jutsru Maudya yang jadi ragu.

"Ukuran aku sama Gilbert itu sama. Sebelum pulang ke indo aku masih sempat ketemu dia di acara reuni di Paris. dia juga sempat minjam baju aku karena katanya istrinya lupa kasih kaos. Semuanya malah pakaian formal," ujar Abdi menjelaskan dan membenarkan.

Fristy tertawa kering mendengarnya. Sementara Maudya mengangguk-angguk, lantas ikut setuju kalau Abdi bakal jadi perantara untuk ukuran baju Gilbert.

"Oke, udah dulu ya? Aku tunggu lho hasilnya."

"Sip! Enjoy your time, Fii!"

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang