Bab 52

44 0 0
                                    

Tak bisa dihindari perkelahian antara Bian dan Abdi. Keduanya sama-sama ogah berhenti seolah meluapkan segala amarah untuk masalah yang sudah-sudah. Jangan tanya lagi seberapa bergolak kini kemarahan Abdi pada laki-laki yang sudah dia cap brengsek itu. Setiap pukulan yang dia layangkan seakan meletakkan seluruh dendam atas luka yang dialami Maudya. Walau dia juga ikut terluka, akan tetapi sedikit lega rasanya bisa menghantam wajah Bian.

"Berhenti berbuat curang pada Maudya. Aku udah peringati kamu dari awal, Bian! Jangan coba-coba lagi kamu menyakitinya!" desis Abdi begitu berhasil mengunci pergerakan Bian yang lumpuh dibawah tubuhnya bertumpu pada lantai nan dingin.

Hitungan detik Abdi kembali terhempas. Giliran Bian yang melayangkan aksi yang sama. "Aku udah bilang sama kamu, jangan terlalu ikut campur sama masalah rumah tangga orang. Aku akan tetap menjadi suami Maudya sampai kapan pun. Karena apa? Karena dia cuma cinta sama aku. You should know that! Nggak ada yang bisa buat dia nyaman kecuali aku," desisnya percaya diri. Senyum belis nan kejam itu terbit mencetak wajahnya.

Tak berselang lama, tubuh Bian yang mengunci pergerakan Abdi seketika terhempas usai seseorang menendangnya. Kesempatan, Abdi buru-buru bangun walau lunglai, lantas melihat siapa yang datang saja melakukan hal itu. "Yuda?"

"Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau Anda butuh bantuan," ungkap Yuda, menyesali.

"Its okey! But thanks," ucap Abdi sambil mendesis merasakan perih disudut bibirnya.

"Yuda! Kamu lancang–"

"Hanya sampai pameran selesai, Pak Bian. Anda akan segera dapat ganjaran yang buruk dari Nyonya Maudya!" sela Yuda, mengamuk.

Sejenak Bian terkejut atas apa yang dia lihat tentang bawahannya itu. Yuda itu pesuruh untuk Bian, lantas Tuan mana yang tidak murka jika ada dayangnya melakukan pemberontakan. "Wauu ... kamu udah berani sekarang? Kamu harus ingat posisi kamu, Yuda.  Kalau kamu resign sekarang, kamu pasti akan nangis darah buat balik lagi ke saya. Jadi jangan bertindak gegabah."

Alih-alih Yuda, justru Abdi yang menggertak ucapan Bian dengan menendang tong sampah yang tepat didekatnya. "Keluar sekarang, atau nggak sama sekali!" lanjutnya mengancam.

Bian tiba-tiba kicep, tak berkutik. Jika Yuda saja sudah tahu tentangnya, bukan tidak mungkin lagi kalau istrinya tahu tentangnya juga. Mau tak mau, walau masih memendam kesal, Bian melangkah menurut.

Melihat kepergian Bian, Maya seketika mengernyit tak terima. Sialan! Bian memang tidak bisa ditebak bagaimana tabiatnya. Tidak akan ada yang bisa diharapkan dari laki-laki itu. Mau tidak mau, Maya akan melakukannya sendirian. Sejak awal juga, dia hanya menaruh obses pada Bian. Baginya tidak ada hidup berdampingan dengan yang banyak orang bilang, "cinta". Maya hanya terobsesi pada kehidupan yang glamor yang rela mengorbankan apa saja untuk inginnya.

Hendak melangkah mengikuti Bian, Abdi bersuara mengehentikan kaki Maya. "Jangan coba-coba mau lakuin tindakan yang buruk terhadap Maudya. Kamu harus ingat, jeruji besi lebih baik dari pada kematian!"

Maya memutar mata jengah. Dia mengaku kalah hari ini, tapi didalam hatinya dia sudah bertekad untuk membuat keadaan berbalik. Jika jeruji besi katanya lebih baik dari kematian, maka dia siap tinggal dibalik jeruji besi usai menyuguhkan kematian yang buruk yang Abdi katakan pada Maudya!

Maya tak menjawab apa-apa. Dia langsung bergegas pergi tanpa ada yang dibawa dari kamar Maudya. Sial pula, kalau dia juga belum mendapatkan surat pernyataan yang dia cari.

***

Satu malaman ini Maudya tidak bisa memejamkan matanya. Setiap kalimat yang dia dengar dari perbincangan kelurganya selalu saja terngiang-ngiang mengajak air matanya tumpah merembes pada bantal empuk yang dia menopang kepalanya.

Apalagi memikirkan tentang Abdi. Semua sikap serta perlakuan baik itu membekas begitu dalam di ingatannya. Sesal menerjang satu jurus kala mengingat kalau dia sempat memberikan perlakukan serta tudingan buruk pada sahabat kecilnya itu.

Tak terasa, jarum jam yang terus berjalan kini menunjukkan pukul enam pagi. Mentari hampir meninggi. Maudya memijat kepalanya pelan sambil perlahan bangun dari ranjang. Menatap lagi diri di pantulan cermin, kembali membuat Maudya merasa bodoh. Dia baru saja sadar, apa yang dia pertahankan ternyata asal luka yang dia terima. Apa yang dia mati-matian jaga, rupanya sebuah petaka yang menghancurkannya tanpa ampun.

Hingga kepalan tangan muncul pertanda kalau dia siap berperang!

***
Aroma masakan menguar didalam rumah Masesa. Sandriana yang baru saja siap-siap untuk turun ke bawah, dibuat bertanya-tanya masakan tetangga mana yang sampai menyengat ke rumahnya?

"Mama masak apa? Wangi banget," tanya Antonio yang sudah bersiap untuk ikut turun.

"Mama nggak masak apa-apa, Pa. Mama aja bingung. Ini masakan tetangga pake resep apa sampai nyampe rumah kita. Kuat banget lagi aromanya. Mama jadi lapar," sahut Sandriana mengangkat bahu.

Antonio hanya mengangguk-angguk. Keduanya pun sama-sama turun untuk bersiap melakukan aktivitas di pagi hari. Tentu saja keduanya terperanjat samar manakala mendapati sosok jelita tengah berperang di dapur.

Sepasang suami-istri itu saling melempar tatap, heran. Antonio mengangkat bahu ketika mendapati tatap tanya dari sang istri.

"Lho, Maudya? Kamu masak?" tanya ibu satu anak itu sambil mendekat.

Sebuah senyuman indah langsung menyapa matanya. Wajah sumringah Maudya benar-benar memberikan efek damai dalam hati Sandriana. Serasa hatinya sedang disiram air es. Sejuk.  "Mama, Papa mau sarapan, 'kan? Duduk aja dulu. Maudya siapin bentar," katanya antusias.

"Waoo ... kok tiba-tiba nih? Papa jadi curiga," celetuk Antonio seraya menarik satu kursi.

"Pa!" bisik sang istri mengingatkan untuk tidak mengubah suasana hati Maudya. Antonio hanya bisa manggut-manggut patuh.

"Nggak ada yang perlu dicurigai, Pa." Satu piring nasi goreng terpatri di atas meja di depan Antonio. "Maudya cuma mau buat hal yang berguna buat kalian. Maudya berpikir kalau Maudya ini anak yang nggak berguna sama sekali. Udah nyusahin, bikin masalah terus. Kan nggak enak ya punya anak kayak gitu?"

Tiba-tiba saja atmosfer membiru. "Hei ... siapa yang bilang kayak gitu? Bawa sini orangnya, Papa mutilasi sekarang!" sahut Antonio, tidak terima kata-kata sang putri.

Nasi goreng yang sama terpatri didepan Sandriana. Diam-diam Maudya mengulum senyum dominan menahan tangis. "Maudya cuma pikir gitu, Pa. Selama ini Maudy terus aja buat kalian kewalahan sama sikap Maudya. Belum lagi tentang gimana Maudya bela Bian. Kalian pasti kecewa banget, 'kan sama Maudy?"

Kedua orang tua itu mendadak berdebar usai mendengar pernyataan sang putri. Sandriana langsung saja bangun dari duduknya lantas melayangkan pelukan erat cukup hangat. "Nggak, Sayang. Nggak ada yang kecewa sama kamu. Mama sama Papa bangga punya Maudya. Jangan anggap diri kamu kayak gitu."

Tak tahan, air mata kesedihan ikut tumpah membasahi wajahnya. Pelukan hangat sang ibu memang tiada tandingan. "Maaf, Ma. Maudya udah bikin kalian kecewa. Semua hal yang Maudya buat cuma kasih kalian kekecewaan yang berat ...," ucapnya lirih dengan suara parau.

"Hei ... heii, liat Mama." Sandrina menarik diri guna menatap wajah anak semata wayangnya itu. "Nggak ada yang kecewa sama kamu. Semua yang kamu lakuin itu, bentuk dari kesuksesan kami menjaga serta mendidik anak kami. Kamu itu cuma lagi dimanfaatin orang karena kamu terlahir jadi orang baik, Sayang. Nggak semua apa yang kamu perbuat adalah kekecewaan. Semua itu udah jadi pilihan kamu karena itulah watak kamu yang sebenarnya. Kamu orang baik, Sayang. Jangan punya pikiran gitu lagi, ya? Mama sama Papa nggak suka dengarnya."

"Maaf, Ma ...."

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang