Bab 48

49 0 0
                                    

Hanya sampai acara pameran selesai. setelah itu barulah Maudya menendang jauh Bian serta pelacurnya itu. Jika dia melakukannya sekarang, akan berdampak buruk pada acaranya. Orang-orang yang hadir nantinya bukan fokus pada acara justru sibuk mencari informasi tentang keretakan hubungannya. Mengingat bagaimana Bian begitu 'agung' dimata orang-orang, beberapa persen oknum pasti akan mencemooh Maudya yang tidak bersyukur telah mendapatkan suami baik seperti Bian.

Dan sebaliknya, dia akan menjadi bulan-bulanan wartawan untuk diwawancarai jika sekiranya kebenaran tentang Bian yang selingkuh terungkap. Hal itulah yang membuat Maudya menahan diri untuk tetap bersikap tenang. Acara ini sudah dia mimpikan sejak lama, jika yang ini pun hancur, Maudya tidak akan bisa mengendalikan diri lagi. Mungkin dia akan melenyapkan Bian dengan tangannya sendiri.

"Masuk," sahut Maudya ketika mendapati pintu ruangannya diketuk. Sosok tak asing muncul dari sama membawa beberapa tentengan ditangan.

"Maaf, Nyonya, saya disuruh membawakan ini pada Anda," kata Yuda seraya meletakkan paper bag ukuran kecil di atas meja.

"Siapa yang ngasih?" tanya Maudya. Dia memastikan dulu dari siapa dia menerima sesuatu. Ini juga dulu sebagai nasehat orangtuanya untuk tidak sembarang menerima pemberian dari orang asing.

"Pak Abdi, Nyonya."

Maudya segera berdiri dari kursinya. "Ab-Mas Abdi di sini?" Perempuan itu tampak antusias.

"Tadinya begitu. Tapi katanya karena sekalian lewat jadi dia cuma nitipin itu sama saya. Beliau pergi lagi, Nyonya," jelas Yuda, jujur.

Maudya lantas mengangguk-angguk, namun ada kilat kecewa di sana. Entah kenapa dia tidak senang kalau Abdi justru tidak memberikannya secata langsung. "Yuda, apa menurut kamu Abdi itu orang yang baik?" Sembari duduk Maudya ingin tahu tentang Abdi menurut pendapat orang lain.

"Ng ...." Yuda menimbang-nimbang. "Saya nggak begitu kenal sama-"

"Saya udah tahu tentang kalian. Nggak usah di tutupin lagi," sela Maudya membuat Yuda seketika tegang. "Kalian udah ketahuan."

"Maaf, Nyonya. Saya nggak bermaksud buat bohong sama Anda. Saya cuma nggak mau aja kalau ...." Yuda tidak melanjutkan.

"Udah, udah. Saya juga paham kok." Maudya tahu apa yang ada di pikiran Yuda sekarang.

Begitu lelaki itu mengangkat tubuhnya yang membungkuk tadi, dia pun menjawab tentang tanya Maudya yang tadi, "Pak Abdi orang yang baik, Nyonya. Beliau itu cekatan juga pintar. Saya sebenarnya belajar banyak dari beliau. Selain itu, Pak Abdi juga nggak kalah ganteng. Saya dapat banyak tips agar bisa membentuk tubuh nan seksi kayak beliau."

Yuda mengulum senyum, sedikit malu.

"Dih, kayaknya biasa aja deh," tanggap Maudya.

"Tapi bagi saya beliau udah paling pas, Nyonya."

"Pas apanya?" Mata Maudya menatap penuh selidik.

"Eh." Yuda berjengit. "Duh, saya pamit dulu ya, Nyonya? Banyak kerjaan soalnya. Permisi, Nyonya. Have a nice day." Yuda bergegas menghilang dari lane.

Padahal Maudya tidak akan melakukan apa-apa terhadapnya. Yuda kadang-kadang bersikap lebay. Karena hal itu Maudya jadi mengukir senyum di wajahnya. Penasaran tentang isi di dalam paper bag di depannya, segera kedua tangannya membuka bungkusan yang pertama.

Sebuah brownis mini berbentuk lingkaran menyapa matanya. Cukup cantik dengan warna purple soft yang diberi tulisan 'semangat calon anggota baru!'. Ada motif bunga lavender yang dilukis dengan krim sehingga tampak imut.

Tak tahan, Maudya mengukir senyumnya hingga sampai ke mata. Anggota baru apaan? Abdi ada-ada saja. Pikirnya.

Begitu kue itu diletakkan, giliran bungkusan yang kedua yang direbut. Kali ini sebuah catatan pribadi ukuran sedang. Keningnya mengerut memandangi barang tersebut. Tangannya membuka sampul hingga tampaklah isi dalam buku yang mirip catatan harian milik anak-anak. Warna-warni.

Maudya pikir Abdi memberikannya lembar kosong, ternyata berisikan tentang cara-cara menjaga pola hidup yang teratur. Dari bangun pagi, tentang makanan yang harus dimakan, disiang hari harus berbuat apa, serta malam harinya. Semua tercatat rapi serta lengkap di sana. Bahkan Maudya sendiri masih belum sepenuhnya menerima kehadiran sang buah hati. Tapi lihatlah bagaiman antusiasnya temannya itu? Seolah-olah Abdilah yang hendak menjadi seorang ayah.

Tanpa sadar mata Maudya berkaca-kaca. Dia tidak tahu ternyata setulus itu Abdi terhadapnya. Ketika dia mengandung saja, alih-alih kecewa Abdi malah ikut kegirangan.

"You are very lucky," gumamnya sambil mengelus perut yang masih kelihatan rata.

***
Yuda berpesan pada Maudya kalau Bian ada beberapa pertemuan dengan konsumen. Laki-laki itu akan menetap di luar beberapa hari. Yuda sudah memastikan kalau tidak ada hal yang janggal yang bisa diperbuat Bian. Karena laki-laki itu akan ikut ke mana pun Bian pergi dan akan tetap mengawasi. Begitu Maudya ikut memastikan, dia pun membiarkannya. Hitung-hitung dia tidak akan muak atau mungkin misuh-misuh jika harus melihat wajah Bian satu malaman. Syukurlah, malam ini dia bisa bebas sejenak tanpa laki-laki pembuat onar itu.

Butik akhirnya rehat. Lampu-lampu di dalam susah mulai di padamkan. Saatnya untuk Maudya kembali pulang, dan sangat siap untuk langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Padahal dia hanya berjalan-jalan saja di gedung tempat perencanaan acara, tapi begitu kaku rasanya seluruh tubuhnya.

Mobil hitamnya berhasil keluar dari pelataran area parkir. Begitu melaju keluar dari area butik, mata Maudya tidak hentinya melirik sebuah mobil yang sepertinya terus mengikutinya. Sesekali dia mengerutkan dahi mencoba menebak siapa agaknya yang selalu bertahan dengan jarak dua meter dengan mobilnya.

Kerutan dahi itu segera hilang, begitu Maudya menangkap plat mobil yang sosok itu gunakan. Segera senyumnya terbit tanpa sadar. Mana mungkin dia tidak tahu siapa yang ada di dalam mobil sana? Plat mobil itu mimik rumah sakit, dan itu yang paling sering digunakan dokter ternama. Harusnya Abdi tidak menggunakan mobil yang itu. Maudya jadi tahu pada akhirnya.

Ya, benar tebakan Maudya itu. Yang mengikutinya sejak keluar dari butik adalah Abdi. Laki-laki itu tidak begitu yakin membiarkan Maudya sendirian dalam kondisi seperti ini. Karena takut Maudya akan menanggapinya asing, makanya Abdi tidak terang-terangan melakukannya. Maudya tidak boleh banyak pikiran untuk saat ini. Bisa kacau dia nanti.

Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, Maudya pun akhirnya sampai. Melihat Abdi yang memilih berhenti di jarak yang cukup jauh darinya, membuatnya berpikir kalau Abdi sedang menjaga jarak. Padahal Maudya ingin sekali berbincang dengan laki-laki baik itu. Tapi apa boleh buat? Dia juga yang memulai kenapa Abdi jadi mengukir jarak diantara mereka.

Abdi tetap berada di sana walau Maudya sudah dikamarnya beberapa menit yang lalu. Bahkan perempuan itu sudah membersihkan diri juga sudah melakukan rutinitas skincare malamnya.

Apa yang salah? Kenapa Abdi tak kunjung juga pergi? Maudya jadi bertanya-tanya.

Dari jendela kaca balik gorden, Maudya menatap Abdi yang kini tengah keluar dari dalam mobil sambil menjawab telepon. Sesekali pria itu mendongak, guna melihat kamar Maudya.

Sadar, Maudya segera berlari kecil guna memadamkan lampu kamar. Sengaja dia menyisakan lampu tidur, lantas kembali berlari ke jendela hanya untuk melihat apakah Abdi akan pergi atau tidak.

Ternyata benar, laki-laki itu hanya ingin memastikan kalau dia pulang dengan selamat dan langsung tidur. Dan begitulah akhirnya Abdi segera meninggalkan tempatnya.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang