Bab 12

124 2 0
                                    

Maya mengangguk-angguk sambil tersenyum untuk melepaskan acara pertemuan hari ini. Seperti apa kata Bian, yang menyuruhnya untuk datang ke ruangan guna membahas tentang desain yang akan diluncurkan, Maya pun bergegas berbenah. Ada beberapa barang yang harus dia bawa. Beberapa proposal juga tab 12 inch tempatnya membuat desain.

Lenggok langkah yang sengaja dibuat seksi, ralat! Memang begitulah Maya. Dia berjalan lenggak-lenggok karena sudah terbiasa. Jarak kian terkikis. Akan tetapi, dalam hatinya ada sesuatu yang mengesalkan. Pasalnya, dia akan bertemu-walau masih via panggilan video, Maudya yang baru-baru ini dia tahu namanya. Upsss ... nama Maudya sudah meroket hanya saja baru Maya sadari kalau Maudya yang itulah istri dari mantan kekasihnya.

Suara ketukan pintu mengudara. Maya segera memutar kenop pintu, karena sudah berjanji jadi Maya tidak menunggu balasan dari dalam sana boleh atau tidak dia masuk. Segera tubuh sintal mirip gitar spanyol tersebut dilahap ruangan ber-AC di depannya.

Baru saja akan menutup pintu kembali, tubuh Maya sudah lebih dulu terkesiap saat aksi Bian yang dia kira mendadak muncul. Pria itu langsung mendorong pintu cukup kasar-hingga tertutup, dengan tubuh Maya yang dipojokkan ke permukaan dinding akses masuk tersebut.

Beberapa barang di tangan wanita itu terjatuh berserakan. Bian sialan! Maya jadi berjengit hebat tadi, dan sekarang tubuhnya di paksa membelakangi hingga Maya merasa dua beruang kembarnya terhimpit, nyeri.

"Ahh ... Bra ... apa-apaan ini?" pekik Maya tertahankan. Berusaha kepalanya menengok kebelakang.

Ternyata Bian sungguh terpancing. Dia terhasut oleh belis dalam diri, yang mana hasil pancingan tersebut berbuah lemak nikmat milik Maya.

"May, kamu kenapa sih bikin aku kepanasan terus? Aku nggak tahan kalau di giniin, May," bisiknya, hampiri seperti mendesah.

Tangan kanan Bian menahan kuat dua pergelangan tangan Maya tepat di belakang tubuh gadis itu. Hingga akses mata Bian benar-benar telanjang mendapatkan pandangan indah di depannya.

Bian menghirup dalam aroma yang menguar harum dari tubuh Maya. Tentu saja wangi kopi. Entah kenapa, mencium aroma kopi membuatnya tampak lebih bersemangat. Tak tahan, tangan kiri Bian terangkat guna menyingkirkan rambut panjang Maya agar tak menghalanginya mencium leher jenjang itu dan segera meninggalkan bercak merah di sana.

Maya segera mengerang, nikmat. Bian memang tidak pernah salah dalam membuatnya berair. Titik lemah perempuan itu selalu saja bisa di tangkap oleh mantannya ini.

"Uh ... Bra ...." Maya mendesah.

Bian tak menghiraukan. Perlahan dia memutar tubuh sintal itu kini menghadap padanya. Maya masih tersudut yang mana Bian kian menghimpitnya. Kecupan tadi sengaja dihentikan supaya Bian bisa menatap wajah melas Maya yang baginya suatu gejolak tersendiri untuk merasakan ingin yang lebih besar.

"I miss you, Bra. Aku pikir kamu emang udah lupa sama aku," bisik Maya seraya mendongak.

"Kamu yang datang dan pergi, May. Mana mungkin aku bisa lupain kamu," jawab lelaki itu, ada nada desah di dalamnya.

Tanpa pikir panjang lagi, segera Bian melahap bibir manis Maya dengan gerakan cepat. Rasanya Bian hendak melahap isi mulut Maya, hingga suara aneh-aneh itu pun terdengar.

Mengantisipasi ada dinding yang bertelinga-tanpa melepaskan ciumannya, Bian mengajak kaki Maya berjalan hingga mentok pada pojok ruangan.

Gerakan keduanya kian memanas. Maya menjalari seluruh tubuh Bian hingga memaksa pria itu membuka jas hitam yang dia kenakan. Dan dengan cepat meraba-raba satu-persatu kancing kemeja hingga tampaklah kini dada bidang tak berbungkus tersebut.

Shit! Maya tidak tahu, sejak kapan agaknya Bian mulai membentuk tubuhnya hingga sangat atletis begini. Roti yang baru diangkat dari panggangan saja kalah rasanya dengan perut kotak-kotak Bian.

Sepuluh jari lentik itu tak mau berlama-lama, hingga mendarat di perut Bian. Efek merinding dirasakan Bian yang mana membuatnya tidak sabaran dan menuntun tangan lembut itu berhenti di area sensitifnya.

Sial! Bian kembali terlena.

***
Hari ini adalah hari yang cukup spesial bagi Maudya. Pasalnya, tepat tanggal 15 ini dia akan merayakan anniversary pernikahannya yang kini genap tiga tahun.

Gadis cekatan berbadan elegan tersebut, berniat mengajak Abdi-yang sudah dia resmikan menjadi kakak laki-lakinya, untuk menemaninya berbelanja. Mana mungkin bisa Abdi menolak apalagi jadwal praktiknya hanya sedikit.

Ya, sebab dari semua itu membawanya ke tempat ini. Super market. Tempat di mana Abdi akan di siksa habis-habisan, karena dia tahu Maudya bukan tipe wanita yang sat set sat set. Teman masa kecilnya itu akan sanggup berdiri sepuluh jam hanya untuk memikirkan membeli barang yang mana. Malang nian nasib Abdi kini.

"Mas Abdi, yang ini enakan yang mana sih? Daging sapi yang dibungkus kotak atau cuma pake plastik?" Pertanyaan kesekian kalinya lolos dari bibir Maudya.

"Um? Astaga ... itu sama aja. Cuma cara Packagingnya aja yang beda," jawab Abdi, geram. Masa cuma untuk daging beda bungkus juga dipertanyakan?

"Oh ya? Ya udah deh, yang ini aja." Maudya merebut kornet pronas alias daging cincang kaleng alih-alih daging mentah yang dia kasih sebuah pilihan.

Abdi mendesah, lagi. Ini bukan yang pertama, tapi sejak dua jam lalu, dari mereka tiba, hal itu sajalah yang kerap didapati Abdi. Setelah itu, Maudya pasti berjalan lagi, dan Abdi lagi yang harus mengekori.

"Mau ngapain sih? Kayak bisa masak aja," tanya Abdi disela mereka memilah sayuran.

"Emang. Itu kenapa aku aja kamu, Mas," ujar yang bersangkutan sumringah.

Sebenarnya untuk pengertian "mas" yang disebutkan Maudya punya arti lain bagi Abdi. Itu kenapa, setiap Maudya menyebutnya dengan embel-embel "mas" pasti serasa ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Belum lagi melihat wajah polos perempuan itu, entah kenapa membatasi amarahnya yang lelah karena di ajak berbelanja walau dia dinas malam pulang pagi kemarin.

"Maksudnya apa nih? Jangan macam-macam ya? Aku sekarang bisa lipat dua ginjal orang," ancam Abdi, dibuat wanti-wanti akan ucapan Maudya tadi.

"Yang ini apa yang ini?" Maudya menaikan satu-satu brokoli di tangan kiri dan kanannya. Dia mengabaikan ucapan Abdi tadi.

"Yang kiri," balas Abdi memberitahu. Tapi detik itu juga kerutan serta wajah tidak terima Abdi tercetak. "Kok jadi itu? Kan aku bilang yang sebelah kiri?"

"Aku lupa di kulkas masih ada yang itu. Sayang, ntar mubajir," jawab Maudya santai.

Again! Napas sabar terdengar diembuskan Abdi. Kesalahan besar sebenarnya Tuhan menciptakan sisi wanita yang ini.

***
Acara berbelanja bahan masakan itu usai. Karena tidak tega, atau memang niatnya, Maudya mengajak Abdi singgah di kafe yang dulu sering mereka kunjungi. Kafe yang menyediakan berbagai olahan ice cream yang menggoda lidah.

"Mas, kayaknya punya kamu enak. Boleh cicip?" pinta Maudya. Dia tertarik warna merah jambu pesanan Abdi.

Sosok jangkung yang tengah menikmati santapanya itu pun mau tak mau mengiyakan. Di luar dugaan Abdi, tadinya dia hendak meminta satu sendok lagi, akan tetapi Maudya sudah lebih dulu merebut sendok ditangannya yang mana masih ada sisa es krim bekas bibirnya di sana.

"Eh-" Sia-sia dia melarang, Maudya sudah lebih dulu melahap es krim dengan sendok bekasnya.

Melihat Maudya begitu menikmati, inisiatif, dan mungkin memang hukum alamnya begitu, bahwa makanan orang lebih menarik dari pada makanan sendiri, makanya Abdi menarik satu gelas es krim kocok milik Maudya.

"Thanks, Mas," ucap Maudya sambil nyengir hingga susunan giginya yang rapi terpampang.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang