Bab 13

112 2 0
                                    

Tubuh jenjang penuh keringat itu kini tengah terengah-engah terkapar di atas sofa. Ada rasa puas, lega, dan nyaman yang akhirnya bisa dia dapati lagi. Entah kapan agaknya Bian merasakan yang seperti ini terakhir kali. Yang pastinya, tidak dia temukan pada Maudya, istrinya.

Kepala Bian menoleh saat suara pintu toilet tertutup. Dari dalam sana Maya muncul kini dengan balutan handuk putih. Segera Bian membangunkan tubuhnya, lantas menyunggingkan senyum pada Maya yang hampir sampai di dekatnya.

Jangan tanya betapa nekatnya kini sikap Bian. Bahkan di dalam ruangan pribadinya, yang mana seluruh sentuhan Interior, tata letak furniture, dan warna-warna setiap garis ruangan tersebut, sepenuhnya ide Maudya. Bukan hanya ide, pengeluaran, berurusan dengan arsitek, semuanya Maudya yang mengatur.

Tapi lihatlah tingkah bejat sang suami, yang justru berbuat hal yang tidak baik di dalam sana. Seolah-olah tiada rasa bersalah, atau segan pada si empunya asli ruangan yang mereka gunakan.

"Sana mandi, kamu nggak gerah?" tanya Maya yang sudah duduk di dekatnya.

Bian tersenyum sambil mendekatkan dirinya. "Handuknya cuma ini," katanya saat Maya menghalangi kala Bian hendak menarik handuk yang digunakan Maya.

"Oh iya? Terus gimana dong?"

"Ya udah, siniin. Kenapa sih?" ucap Bian memaksa. Ada senyum nakal di sana.

"Bra ... jangan lagi! Apalagi kamu cuma pakai cd gini. Kamu mau terkapar dua kali?" ancam Maya juga mengingatkan.

Bian memandangi lagi dirinya dari ujung kaki hingga sebisanya. Ya, dia sudah seperti laki-laki maniak seks. Lihat saja, dia bahkan tidak peduli penampilannya yang sangat eksplisit untuk ditatap.

"Alright, Alright. Tapi sekarang aku gimana? Nggak pake handuk?" tanya Bian santai.

"Tunggu aku pake baju dulu." Maya tengah membenarkan celana dalamnya yang terlilit tidak jelas sebab Bian menariknya tak beraturan.

"Ya udah deh. Bawa ke kamar mandi, ya? Aku mandi dulu."

Hendak beranjak, lengan kekar Bian ditarik paksa hingga pria itu kembali duduk. Maya menatap penuh tanya, yang membuat Bian bingung.

"What is next!"

"Buat apa?" tanya Bian balik.

"Bra, kamu yang bilang jangan pura-pura bodoh. Kita udah sampai tahap ini lagi. Apa yang akan terjadi besok? Kamu bakalan tinggalin aku demi istri kamu?"

Bian terlihat berpikir karena tak langsung menjawab. Dia kembali menatap mata Maya lalu turun hingga pangkal paha nan putih penuh daging itu.

Tidak! Bian tidak bisa kehilangan sumber kekuatannya ini. Setelah tiga tahun baru lagi dua merasakan apa itu 'jajanan yang enak'. Kalau sampai Maya enyah, kapan lagi dia bisa mendapatkan jajan gratis apalagi dengan orang yang sudah paham dirinya.

"Just calm down. Jalani aja dulu. Jangan pikir yang aneh-aneh. Kita beres-beres, habis itu makan siang sambil bicara serius. Oke?" ucap Bian memberikan keputusan. .

Bum! Bak bom yang meledak di dalam hati Maya, kala dia bisa lagi mendapatkan tatap bersahabat sang mantan. Maya pikir akan sulit menarik perhatian Bian lagi, ternyata dia tidak kehilangan Bian dari segi apa pun. Pria beristri itu tetap saja sama seperti Bian yang dia tinggalkan bahkan saat melakukan sesuatu yang bersemangat.

***
Abdi menolak ajakan Maudya yang menyuruhnya masak di rumahnya. Mana mungkin Abdi segila itu. Mungkin Maudya tidak menganggap dirinya sebagai seorang 'laki-laki'. Tapi Abdi sudah terlalu cukup matang untuk membuat keputusan konyol macam itu. Maudya itu notabenenya istri orang, dan akan sangat miring nantinya ucapan orang-orang kalau dia masuk ke rumah Maudya saat suaminya tak ada.

Dan inilah keputusan akhirnya. Kedua orang itu memilih memasak di rumah orangtua, alih-alih di kediaman Maudya. Abdi sudah tahu tujuan Maudya berbelanja banyak, juga mengajaknya memasak. Abdi mendapatkan informasinya, kalau hari ini adalah hari jadi pernikahan teman kecilnya itu. Karena sudah terlanjur, Abdi pun membantu untuk menyiapkan hidangan yang lebih mewah.

Maudya bisa memasak! Ya, itu tidak salah tapi juga tidak benar. Maudya itu pada dasarnya anak perempuan yang dimanjakan. Mana ada yang dia bisa masak kecuali makanan-makanan paling sederhana, salah satunya telur dadar keasinan.

Ditengah keseriusan Maudya dalam mencuci sayuran yang sampai mendekatkan sayur jenis brokoli itu ke wajahnya, saking bersih atau mungkin saking tidak pernahnya, ada Abdi yang terus memikirkan tentang Bian, yang tidak mau bertemu dengannya.

"Nggak segitunya juga kali, Maudyaaaa," ucap Abdi, gemas.

"Harus teliti tahu! Siapa tahu ada ulat atau apa gitu yang bersarang di sini," sahutnya tanpa menoleh.

Abdi lantas mengangguk, seolah menerima. Jika di debat pun apa gunanya? Wanita selalu benar, dan itu keputusan mutlaknya!

Dalam diam, Abdi jadi teringat tentang kehidupan pernikahan Maudya. Sesekali pria jangkung yang menggunakan celemek tersebut, mencuri pandang, menyadari betapa bersemangatnya wanita berponi yang sudah kepanjangan tersebut.

"Maudy, gimana sama Bian? Udah ada kejelasan kapan dia mau ketemu sama aku?" tanya Abdi kemudian menghalau rasa penasaranya.

Maudya menoleh. "Kayaknya aku nggak akan jadi pasien kamu lagi deh, Mas."

Abdi jadi berjengit. "But why?"

Maudya menepikan sayur di tangannya. "Karena Bian ternyata belum ada keinginan buat punya anak." Dia membalik badan kini mengarah pada Abdi yang tengah sibuk mengaduk saos di atas kompor. "Benar apa yang kamu bilang, Mas. Suami aku rupanya masih enggan jadi ayah."

Giliran Abdi yang menoleh. "Terus kamu gimana?"

Ada sesuatu yang tercekat di dalam tenggorokan Maudya kala pernyataan Abdi terlalu satu jurus. Dia mengangkat bahu dengan senyum semu, paksa. "What can i do? Andai aku bilang aku udah pengen banget jadi ibu pun nggak akan buat Bian jadi pengin juga, 'kan?"

"I know. Aku cuma mau tahu, apa kamu udah berharap banget punya anak saat ini?"

Maudya tak bisa menyembunyikan rasa dambanya itu dari Abdi. Dia segera mengangguk mantap sambil tersenyum lebar. Dalam kilat tatap itu, bisa Abdi merasakan bagaimana rasa damba yang tak terwujud tersebut yang mengajak sepasang iris gelapnya berembun walau masih samar.

Kepala pria itu kembali fokus pada wajan dan mengaduk saos yang mendidih. Ada perasaan yang tidak bisa Abdi katakan, atau sekadar memvalid'kan di dalam hatinya. "Sabar aja. Siapa tahu nanti dia berubah pikiran."

"Aku tunggu dengan sabar." Maudya hendak pergi, namun Abdi melarang.

"Eh tunggu! Saosnya udah jadi. Rasain dulu udah pas belum sama selera Bian?" kata Abdi sambil menyodorkan telapak tangannya yang diisi sedikit saos yang dia masak.

Astaga Maudya!

Bagaimana bisa Abdi tidak bergejolak saat perempuan itu dengan santainya menjilat saos ditangannya alih-alih dicolek. Alhasil, Abdi terpaku sampai-sampai membasahi kerongkongannya dua kali.

Mulutnya segera mengecap. Sambil menatap Abdi yang sebenarnya bergeming karena hal lain. Maudya pun menjawab, "Kayaknya kurang deh."

"Uh?" Abid mengerjap-erjap. "Ku-kurang apa? Garam atau yang lain?"

"Apa ya?"

"Maudyyyy!"

"Nggak terlalu kerasa. Coba minta lagi!" pintanya sebab tak yakin.

Tak ingin kejadian yang sama, Abdi memilih mencolek saos yang masih panas dengan jari kelingking kanannya. Baru saja akan mengatakan untuk mencicipi lewat jari sendiri, rupanya Maudya sudah lebih dulu menjilat penuh jari kelingking Abdi cukup santai.

"Eh-" Buru-buru dia menarik tangannya.

"Uhm ... ini udah pas. Yang tadi belum," kata Maudya kemudian setelah dia mengecap lebih lama.

"Aku nggak ada nambahin apa-apa lho dari tadi," ketus Abdi.

"Oh ya? Masa sih? Coba kamu yang cicip deh. Lidah aku kurang berfungsi kayaknya."

"Udah-udah sana. Kamu emang bakatnya cuma bikin baju orang, kalau kamu masak, semua orang mendadak meninggal!" tukas Abdi terlampau geram.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang