Bab 44

47 0 0
                                    

Perlahan pandangan Maudya menjauh. "Siapa yang tahu? Bisa jadi kamu cuma nunggu momen yang tepat," ucap Maudya, masih enggan untuk bersahabat lagi.

Embusan napas Abdi terdengar lelah. Bersamaan pula dia meredakan emosi yang sempat muncul tadi. Tidak seharusnya dia gegabah seperti sebelumnya. Abdi harus bisa belajar dari kesalahannya yang kemarin. Karena itu, Abdi kembali menambahkan kali ini dengan nada rendah. "Aku nggak pernah maksa kamu buat terima aku atau apa. Aku bahkan rela-rela aja dianggap kakak sama kamu."

Lagi-lagi Maudya bungkam. Apa yang Abdi katakan memang benar. Dia hanya menyatakan, bukan meminta sebuah balasan. Laki-laki itu juga tidak keberatan jika harus diangkat oleh orangtuanya menjadi anak walau tidak ada perundingan sebelumnya secara pribadi atau mungkin bersifat formal.

"Kamu boleh anggap aku kakak, atau teman atau apalah itu. Aku nggak masalah. Aku cuma mau, kamu tetap berdiri, Maudy. Jangan hancur kayak gini. Bayangin nanti kalau anak kamu cewek, kan bisa dijadiin partner bikin pola, atau kalau cowok, bisa dijadiin pengawal pribadi biar mamanya nggak ngerepotin omnya terus," tutur Abdi upaya mencairkan suasana.

"Om?" beo Maudya.

"Aku ya omnya dialah. Masa aku kakek, kan nggak mungkin?" balas Abdi sedikit sarkas.

Tanpa sadar sudut bibirnya melengkung. Namun, didetik berikutnya kembali luruh lagi sebab ingat tentang semuanya.

Saat senyap mengambil peran sejenak, tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh kedatangan orangtua Maudya dari ambang pintu masuk.

"Maudya, kamu kenapa nggak bilang kalau lagi dirawat?" ujar sang ibu yang mana langsung membuat Abdi dan Maudya sama-sama terperanjat.

Sosok yang duduk di atas brankar itu pun sontak menatap Abdi penuh tanya dan ancam, namun dibalas gelengan kepala serta bahu yang diangkat sekilas. Seolah Abdi sedang menjawab kalau dia juga bingung kenapa orangtuanya tahu tentang kabar ini.

Setahu Abdi, dia sudah memastikan semuanya tetap bungkam. Lantas, dari mana lagi kabar tentang Maudya ini mereka dengar?

"Kalian ini kebiasaan. Kapan sih kalian bisa dewasa? Kalian bukan anak-anak kecil, atau anak remaja lagi Maudy, Abdi. Kapan kalian mau berhenti berbohong sama Mama Papa?" tegur Antonio paham tentang tabiat kedua anaknya.

Diam-diam, Abdi menarik secarik kertas hasil pemeriksaan yang ada di atas nakas, memasukkannya ke saku. "Bukan ide Abdi, Pa," jawabnya membela diri. Sontak Maudya menoleh dengan tatap ancam kedua kalinya.

"Kalian berdua itu sama. Kalau aja kemarin Dokter Utomo nggak ngabarin Mama tentang kamu yang tumbang karena kelelahan, Mama sama Papa mana tahu kalau kamu dirawat. Sama kayak sekarang ini. Kalau salah satu staf yang berjaga nggak bilang, kami juga nggak akan tahu tentang ini. Kapan sih kalian ini anggap kami itu ada? Kalian bosan punya orang tua?" omel Sandriana tidak menyisakan ampun.

Keduanya sama-sama bungkam, merasa bersalah. Namun, jauh di dalam lubuk hati Maudya pun Abdi, menginginkan kalau orangtuanya itu tidak tahu tentang keadaan Maudya saat ini. Paling tidak, tunggu sampai keadaan Maudya kembali membaik.

"Maaf, Ma... tapi, 'kan ini cuma hal biasa. Maudya cuma kelelahan aja. Kedengaran lebay banget kalau harus ngadu juga," sahut Maudya membuat pembelaan.

Sandrina hanya bisa menghela napas. Dia berjalan ke arah nakas guna meletakkan tas selempangnya. "Halah, lebay, lebay kamu bilang, kalau di rumah kamu makanan nggak enak aja kamu ngadu ke mana minta makan enak."

Maudya meringis. "Kan itu beda, Ma."

"Kamu mau alasan apa lagi Abdi? Kamu ikut-ikutan juga bilang kalau perhatian kami itu lebay?" Giliran Abdi yang kena sembur.

"Ma, jangan marah-marah sama Abdi dong. Palingan juga ulah adiknya itu yang bujuk-bujuk biar ikut-ikutan bohong," bela Antonio. Abdi segera mengembangkan senyumannya serta membalas telapak tangan Antonio yang terangkat;tos.

"Papa kok belain Abdi sih?" protes Maudya.

"Eh-eh, kok nggak sopan? Tuh, kan, keliatan siapa yang dalangnya."

"Pa ...." Maudya merengek, tidak terima.

"Udah, udah. Kok malah ribut kayak anak kecil gini?" Si pemilik kuasa segera merelai. "Papa sama Abdi keluar deh cari makan siang yang enak juga uang sehat. Jangan malah keluyuran!" titahnya kemudian.

"Siapa lagi yang bisa memerintah dokter Antonio Masesa kalau bukan ibu negara kita ini?" Antonio menggeleng pasrah. "Maudya mau makan siang apa, Sayang? Ntar kalau Papa bawain yang aneh-aneh kamu malah nggak suka. Papa kesal kalau apa yang Papa beli nggak di apresiasi."

"Apa aja, Pa. Maudya makan yang Papa beli."

"Yakin?"

Maudya mengangguk. Senyum manis itu tak habis-habisnya terukir cantik memahat wajahnya. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira rasanya telah memiliki orang-orang yang baik seperti yang mengelilinginya saat ini.

"Mama mau makan apa nih? Makan terserah?"

"Tu Papa tahu." Sandrina membalas.

"Makan sop tulang mau nggak?"

"Nggak deh, Pa."

"Terus mau makan apa?"

"Terserah Papa. Apa aja udah."

Antonio memutar bola matanya malas. Sama halnya dengan Abdi, akan tetapi dia hanya bisa mengulum senyum. Memang tabiat para wanita tidak berbeda. Tidak ibu tidak anak, kedua sama-sama membingungkan.

"Di, Papa saranin kalau nanti udah ada niat buat married, pikir dia kali dulu. Liat sekarang, perkara makan aja bikin otak kita mutar-mutar nggak jelas. Capek," ucap Antonio sambil menepuk pundak Abdi.

"Abdi akan pikir tiga kali, Pa," balasnya ikut berkelakar. Tentu saja keduanya sama-sama tertawa kecil.

"Hei, mau lanjut ngegosip apa mau beli makanan?" tegur Sandriana kemudian.

"Iya, iya. Ini juga mau pergi." Antonio menggeleng kecil lantas pergi menjauh kini menghilang dari ruangan.

Tersisa kini dua sosok cantik yang hampir mirip itu. Sayang, Maudya lebih condong menduplikat pahatan wajah sang ayah, hingga Sandriana yang mengandungnya pun hanya kebagian mirip di bagian mata.

"Papa sama Mas kamu kalau udah kompak gitu bikin gemas aja," gumam Sandriana masih saja mengomel. Dia berjalan lebih dekat ke brankar tempat Maudya duduk. "Gimana, Sayang? Udah baikan? Kenapa sih pake tumbang segala?"

"Kecapean, Ma," jawab Maudya, enggan berkata jujur. Namun, dalam hatinya sudah bertumpuk rasa bersalah yang cukup banyak.

"Ya ampun, kalau kerja ya kerja aja. Nggak usah sampe berlebihan gini. Emang Papa sama Mama nggak ngasih kamu apa yang kamu mau? Cukup kerjain yang emang sekuat mampu kamu aja, Maudya. Kalau kayak gini, 'kan Mama bisa khawatir."

"Iya, Ma. Lain kali Maudy hati-hati dan banyakin istirahat."

Sandrina merebut face cleanser dari dalam tas. "Harus pokoknya! Lihat tuh, wajah kamu aja nggak terawat gini. Kapan terakhir pergi perawatan?" Tangan sang ibu beralih memperbaiki ikatan rambut Maudya yang sedikit berantakan.

"Mama ngejek atau apa?"

"Mama nggak ngejek. Tapi itu kenyataannya lho. Lihat aja tuh, sisa maskara nggak dibersihin. Lipstik juga nggak awang-awang. Dibilang dipake, nggak, dibilang di bersihin juga nggak."

Ya, mana mungkin Maudya bisa berpikir tentang itu lagi. Beruntungnya dia masih hidup. Andai saja Abdi saat itu terlambat datang, mungkin dia sudah ada di ...

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang