Bab 24

57 1 0
                                    

"Apa maksud kamu, Maudy! Kamu-"

Ucapan Bian tertelan kembali kala Maudya menepis tangannya cukup kasar. Wanita elegan pemilik Butik itu membalikkan badan dengan tatap tajam yang selalu saja berhasil membuat Bian meneguk ludah.

"Apa? Udah ada yang mau kamu jelasin, Mas?" tanya Maudya, menekan.

"Jelasin tentang apa?" Bian jadi mengerang sendiri. Dia meremas rambutnya saking geramnya. "Harusnya aku yang ngomong gitu ke kamu. Jelasin ke aku ada hubungan apa kamu sama laki-laki itu?"

"Udah deh, Mas! Aku jadi capek lihat kamu kayak gini. Lebih baik cari alasan yang baik untuk semua kebohongan kamu itu!" tekan Maudya, benar-benar tidak berniat berdamai. Dia memasang wajah kesal hingga akhirnya meninggalkan Bian. Namun, di langkahnya yang ke dua, Maudya kembali menoleh untuk menegaskan kalau,

"Laki-laki yang kamu pukul tadi itu Abdi, Mas! Dia kakak laki-laki yang di angkat sama mama papa!"

Seketika itu juga bahu Bian merosot, tidak berpikir tentang itu sebelumnya. Dia digelapkan oleh 'status' yang masih dia emban saat ini. Bian merasa dirinya ada si empunya Maudya seutuhnya. Hingga dalam kamus hidupnya, hanya dia yang berwenang dalam memperlakukan Maudya. Baik itu dalam keadaan sakit atau pun bahagia. Sebab tuntutan dari dalam dirinya inilah yang menjadikan Bian jadi tampak menjijikkan. Dia bisa melihat salah sang istri, tapi lupa caranya bercermin. Kesalahan Maudya sudah bak bom baginya, akan tetapi kesalahannya sendiri dia kubur dalam-dalam bahkan merasa kalau yang dia lakukan bukan apa-apa.

Sementara itu, Maudya tidak lagi melihat di mana Abdi. Laki-laki itu sudah pergi menurut penuturan bawahannya. Ada segenap rasa yang sangat sakit dalam dada Maudya, kala ingat lagi tentang kejadian ini. Di saat Abdi yang hendak membelanya, Maudya justru memojokkan Abdi seolah-olah semua ini terjadi memang karena kakak angkatnya itu.

Maudya jadi mendesis, mengutuk dirinya sendiri. Menurutnya, pasti kini Abdi sedang kesal bahkan marah. Tadi saja dia sempat melihat kilat kecewa di mata laki-laki itu. Sial! Maudya tampak jadi kekanak-kanakan yang menjadikan Abdi sebagai tumbal atas masalahnya.

Dalam diam, kala merutuki diri, Maudya mendesis lagi kala menyadari kalau suaminya bahkan tak mengejarnya. Begitu dia menengok ke belakang, tanda-tanda kedatangan Bian pun tak ada di sana.

Apa sebenarnya yang telah terjadi?

"Tunggu!" cegat Maudya pada Yuda yang hendak masuk ke dalam ruangan Bian dengan beberapa berkas. "Mau ke mana kamu?"

"Eh, Nyonya Maudya." Yuda hampir tidak sadar akan kehadiran atasannya itu. Dia segera membungkuk singkat sambil menjawab, "Ini, Nyonya. Saya mau mengantarkan beberapa hasil rangkuman riset desain fhasion untuk skala internasional."

Kening Maudya mengerut. "Hasil riset siapa?"

"Mbak Maya, selaku orang yang mengisi posisi sebagai analisa trend untuk luar, Nyonya."

Satu lagi! Kebohongan ini masih terlibat pada Bian. Maudya ingat waktu itu, kalau Bian cukup berlarut-larut mengatakan tentang wanita ini. Kalau saja waktu itu dia tidak menyinggung, juga tidak akan Bian katakan kalau posisi yang kosong itu sudah diisi.

"Suruh dia datang ke ruangan saya," titah Maudya kemudian, lantas melenggang pergi. Dia harus benar-benar menuntaskan kekeliruan ini. Jika benar suaminya memang telah melakukan hal buruk di belakangnya, jangan harap Maudya akan tetap diam!

***
Pesan dan panggilan tidak berbalas. Kian berdebar hati Maudya saya Abdi benar-benar mengabaikannya. Dia tidak bisa mencari posisi laki-laki itu untuk mendapatinya sekarang. Maudya harus mencari tahu dulu apa gerangan yang sedang di sembunyikan oleh suaminya.

Suara pintu yang di ketuk mengalihkan pandangannya. Segera Maudya meletakkan ponsel di atas meja sebelum mengatakan izin masuk pada sosok di balik pintu.

Kerutan yang cukup dalam tercipta jelas di kening Maudya begitu matanya melihat kedatangan Maya yang dia rasa tidak asing. Ya, dia melihat Maya saat Bian menariknya masuk tadi. Waktu itu Maudya hanya berpikir kalau Maya adalah salah satu orang yang lalu-lalang di Butiknya. Tapi kali ini berbeda. Dia seolah di bawa ke fase lain untuk menebak sosok berbadan sintal di depannya ini.

"Selamat siang. Ada yang perlu saya bantu?" tanya Maya. Dia berdiri tak jauh dari Maudya bersebrangan dengan meja.

"Siapa kamu?" Maudya justru balik bertanya.

"Saya Maya Dayana. Orang yang mengisi posisi sebagai analisa trend."

Oh? Jadi ini yang disembunyikan suaminya?

"Oh ... silakan duduk. Ada beberapa hal yang mau saya bicarakan."

Dalam diam, dalam mimik wajah yang super bersahabat, di balik semua itu ada rasa keki yang muncul di dalam hati Maya. Melihat Maudya yang masih terlihat baik-baik saja membuat dada Maya panas, serasa ada kuah bakso yang menyiraminya.

Harusnya bukan ini reaksi Maudya, yang sebelumnya bertengkar hebat dengan suaminya. Harusnya ada embel-embel merajuk atau bahkan marah-marah tidak jelas hingga seluruh karyawan Butik kena imbasnya. Paling tidak itulah yang harus dilakukan jika memang dalam posisi Maudya hari ini.

Maudya mengamati beberapa hasil kinerja Maya yang dirangkum dalam file media yang dia akses dari layar iPad. Beberapa gambar hasil riset untuk simulasi trend beberapa bukan ke depan, habis sudah diperiksa olehnya.

"Udah berapa lama kamu masuk ke Maudya Boutique?" tanya Maudya.

"Sekitar empat bulan lalu." Maya menjawab dengan nada datar. Dia mana bisa menyembunyikan rasa iri dari Maudya. Tentu saja, Maudya terlampau sempurna jika disandingkan dengan Maya.

"Kita pernah bertemu sebelumnya, apa kamu ingat?" ungkap Maudya pada akhirnya. Dia sudah ingat, di mana agaknya wajah oriental ini di dapati.

"Oh iya? Mungkin saya lupa," jawab Maya berkilah.

"Biar saya ingatkan. Ini tentang laki-laki yang yang tidak cukup sama satu perempuan," jelasnya.

Maya segera meneguk ludah, merasa getir walau samar. "Oh ... di toko jam tangan? Ya benar. Saya juga baru ingat."

Maudya manggut-manggut samar. "Ada hubungan apa kamu sama suami saya?"

Duar!

Pertanyaan tak beraba-aba itu langsung saja memberikan efek tegang pada Maya. Maya jadi berpikir, apa Maudya sudah tahu semuanya tentang dia dan Bian?

"A-apa?" Maya gelagapan.

Maudya tetap menyunggingkan senyum kecil seolah pertanyaannya tadi hanya sekadar pertanyaan biasa. Baik Maudya pun Maya, memang sama-sama mengartikan pertanyaan itu lain. Maudya menyinggung tentang 'hubungan' Maya dan Bian, yang katanya berteman lama. Sebaliknya, Maya mengartikan hal tersebut sebagai upaya penyerangan.

"Saya pikir kamu sama suami saya berteman sejak lama? Itu kenapa kamu ngasih jam tangan sama dia dengan note berwarna merah jambu. Apa saya salah?" tutur Maudya menepis keambiguan pertanyaannya.

Sial! Maya deg-degan untuk hal yang lain rupanya.

"Oh ...." Maya tertawa kering. "Iya, benar. Kami teman lama."

"Menyangkut ucapan kamu yang kemarin, apa itu ada hubungannya dengan suami saya?"

Deg!

Satu kali lagi, Maya benar-benar seperti diancam oleh pisau tajam, yang jika dia salah bergerak akan tertusuk. Apa pula dengan reaksi Maudya yang tampak tenang? Seolah-olah dia sedang tidak menyimpan sesuatu hal yang buruk di dalam hatinya. Caranya menopang dagu dengan jemari bertautan ditambah wajah datar yang masih menyisakan mimik ramah di sana, sungguh jadi satu jurus jitu untuk menarik setiap amarah dalam diri Maya.

"Bebas! Silakan berpikir demikian karena oada dasarnya suami Anda juga seorang laki-laki. Silakan beropini," ucap Maya mengangkat bahu.

Maudya lantas manggut-manggut. Dia mengembuskan napas, sembari berdiri. Rasanya sudah lebih dari cukup Maudya mengorek beberapa hal dari Maya. "Oke, saya sudah selesai," ucapnya sambil berjalan. "Oh iya, saya lebih suka di panggil Nyonya kalau di tempat kerja. Saya merasa kalau orang itu akan punya attitude yang bagus," kata Maudya menambahkan serta mengingatkan Maya.

Welcome to My Perfect Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang