BAB 5 : BLOODY BACK

6.5K 236 5
                                    

HAPPY READING💋

️🏴‍☠️

Seragam hitam terpasang pas di badan Teresa dengan rambut tergelung rapi. Atasan yang berbentuk kemeja berlengan pendek serta rok di atas lutut dan id card tergantung di leher dengan rapi. Bordiran nama di dada kanan atas serta bagian punggung berlogokan perusaan jasa Zelcoration, merupakan pekerjaan yang sedang dilakoni oleh Teresa saat ini.

Sepulang sekolah, dirinya langsung mendatangi lokasi yang menjadi tempat acara berlangsung. Sebuah lapangan outdoor di belakang bangunan besar.

Ia terpaksa mengambil pekerjaan sepulang sekolah untuk menambah uang bulannya. Apalagi setelah mobilnya disita kepolisian, Teresa harus memutar otak agar hidupnya terus berlanjut.

Jika dulu mengambil pekerjaan yang masih terhitung ringan, kali ini Teresa harus bekerja keras. Untung ada Natha yang membantunya untuk mencari pekerjaan, meskipun laki-laki itu bersikeras membantu keuangannya. Namun, Teresa tidak ingin sedikit pun menyusahkan Natha. Laki-laki itu terlalu banyak membantunya.

"Res, kamu taruh bunga ini di dekat pintu masuk, ya. Nanti tim dekorasi yang menatanya," ujar wanita yang seumuran dengan Natha.

Teresa pun langsung mengambil alih ikatan bunga anggrek bewarna putih dari Zahra, leader Zelcoration.

Mungkin ia masih baru, tetapi Teresa sebisa mungkin mengimbangi kinerja rekan-rekan kerjanya. Jadi, disuruh sana-sini Teresa menuruti saja. Kalau tidak tahu, barulah bertanya pada Zahra. Karena wanita itulah yang membuka lowongan untuk menggantikan karyawannya.

Ibaratnya Zahra itu sudah kepercayaan bos. Meskipun begitu, tak jarang wanita itu ikut turun ke lapangan daripada koar-koar tidak jelas. Jika ada yang kurang dimengerti oleh anggotanya, maka Zahra akan mengajarinya.

"Res, coba kamu cek tim lighting di atas. Soalnya lampu sebelah sini belum dipasang. Takutnya mereka ketiduran. Dari tadi saya kirim pesan nggak dibalas, protofon mereka juga nggak ada yang nyaut. Mau nyuruh yang lain pada sibuk, kamu aja nggak papa, kan?"

"Iya, Mba," jawab Teresa ketika Zahra menghampirinya dengan wajah sedikit kesal.

Wajar saja, pekerjaan tim seperti ini membutuhkan ektra sabar serta bisa mengontrol emosi. Karena salah saja dalam berucap maka kinerja tim akan turun. Belum lagi ada yang terlalu bawa perasaan hingga menimbulkan percekcokan.

Sesampainya di atas, Teresa melihat tim lighting sedang sibuk memasang lampu dekat jendela. Wajar saja tidak ada yang menyahut di grup ataupun panggilan protofon, karena tidak ada seorang pun yang menganggur.

"Pak!" panggil Teresa pada laki-laki berkumis dengan wajahnya kusut.

"Apa?" jawabnya sedikit galak.

"Kata mba Zahra lampu dekat pintu masuk belum dipasang. Tadi chat di grup sama manggil lewat protofon nggak ada yang nyaut."

Laki-laki itu menepuk jidatnya.

"Angel iki. Aku mesthi didukani mbak Zahra
," gerutunya. "Matur nuwun, Teresa," ujarnya sembari mengeja namanya.

Ia mengangguk. "Iya, Pak."

Setelah itu, Teresa kembali ke bawah. Ia tidak tahu apa yang dikatakan bapak berkumis tadi. Namun, melihat raut wajahnya seperti sebuah kefrustasian.

Entah takut menerima teguran atasan atau teguran dari Zahra. Bagaimanapun mencari nafkah dengan mengikuti arahan orang lain tidaklah mudah. Sebanyak apapun orang mengatakan kerja itu 'enak', tetapi setelah mencobanya maka tidak semudah yang diucapkan.

Dunia kerja itu keras. Teresa sudah mengalaminya.

Beberapa langkah kakinya menuruni anak tangga yang langsung menghubungkan dengan lapangan outdoor tempat utama acara, semua orang berteriak padanya.

"Awas Teresa!" teriak mereka sembari menggerakkan tangan padanya.

Teresa yang bingung pun menoleh ke belakang takut ada sesuatu, seperti kejadian darurat. Namun, tubuhnya malah ditarik ke belakang hingga terjatuh berguling-guling di anak tangga. Tak berapa lama sebuah benda keras terjatuh dengan keras membuat semua orang menjerit histeris.

Kaki Teresa merasakan nyeri saat sebuah benda tajam mengenai kakinya hingga berdarah. Untung saja posisinya tidak jauh dari lantai dasar, sehingga tubuhnya tak seberapa nyeri.

"Ya Tuhan, Teresa!" jeritan Zahra menyadarkan Teresa. Ia segera bangun dari lengan yang menahan kepalanya.

"Aduh, Mas, maafkan saya. Mas ada yang luka-luka?"

Teresa segera berdiri dibantu pekerja lainnya yang langsung membantunya dan seseorang di belakangnya.

Ketika Teresa menoleh, ia dibuat terkejut melihat siapa yang baru saja membantunya. Heksa. Laki-laki itu meringis sakit saat pekerja laki-laki mengambil pecahan kaca dari lengan atasnya.

"Mas, punggungnya berdarah. Saya panggil ambulan dulu."

"Nggak usah, Mba," tolak Heksa. "Ini nggak parah, nanti saya obatin."

"Tapi, Mas...."

Heksa mengangkat tangannya. Ia berdiri memegangi lengan atasnya.

"Kalian segera rapikan saja pecahan lampunya. Empat jam lagi menuju acara utama. Saya ke sini karena kak Hazel nggak bisa datang untuk cek persiapannya. Jadi, tolong segera kembali bekerja jangan pedulikan saya. Ingat ini acara penting kakak saya," sela Heksa.

"Nanti saya kirim orang untuk bantu Mas Heksa obatin lukanya," ujar Zahra. "Maaf sekali lagi, Mas."

"Saya baik-baik saja, Mba. Saya ada di lorong ruang tunggu. Tolong minta air putih juga, Mba."

Setelah itu, Heksa pergi tanpa menatap sedikit pun ke arah Teresa. Punggung dengan balutan kemeja putih sekolah yang berdarah itu perlahan menghilang di balik gedung meninggalkan jejak banyak tanya di benak Teresa.

"Teresa!"

Panggilan Zahra mengagetkannya. Wanita itu menyerahkan kotak obat serta air mineral padanya. Hal itu membuat Teresa kebingungan.

"Kamu baik-baik aja, kan?" tanya wanita itu mengecek seluruh badannya.

"Baik, Mba," jawabnya bohong.

Teresa menyembunyikan luka di kakinya. Ia tak ingin Zahra mengadukan masalah yang menimpanya pada Natha. Bisa-bisa ia tidak diperbolehkan bekerja.

"Syukurlah kalo kamu baik-baik aja."

Zahra menepuk pelan lengan kanannya.

"Kalau begitu kamu aja yang obatin mas Heksa, ya? Nggak papa, kan? Soalnya yang lain sibuk, kamu juga belum ada kerjaan tetap di sini. Gimana?"

Lagi dan lagi, Teresa hanya menjawab, "nggak papa, Mba."

Walaupun dalam hati ia menolak keras. Namun, mengingat apa yang Heksa lakukan barusan membuat nuraninya mengatakan hal lain.

"Sekalian bilang makasih sama dia karena udah bantu kamu. Dia adiknya bos kita, jadi bagaimana pun dia juga bos bagi kita. Kasihan dia rela berdarah-darah tadi demi kamu."

"Iya, Mba. Kalau begitu aku ke sana dulu."

Zahra mengangguk sembari tersenyum tipis. Dengan langkah sedikit tertatih, Teresa melangkah pasti menuju lorong gedung tersebut.

Ia lagi-lagi mengumpat kesal ketika mengingat tak adilnya semesta pada Teresa. Sejak kejadian di malam itu, hidupnya selalu dikaitkan dengan Heksa.

"What kind of destiny is this, God?"

🏴‍☠️



VOTE - COMMENT - SHARE - FOLLOW

A/N

LULUTIANI

Thank you <3

TERESA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang