BAB 50 : PAST GRUDGES

979 97 16
                                    

Happy reading 💋

🏴‍☠️

Jembatan yang menghubungkan wilayah ujung timur dan inti pusat menjadi titik pertemuan tiga orang berbeda karakter itu. Dimana rintik hujan mulai berdatangan disertai angin kencang.

Suara sepatu boots yang beradu dengan aspal menandakan jika gadis angkuh sudah tiba di sana setelah lima menit terlambat. Di ujung jembatan ada Narel yang terlihat menyandarkan punggung di badan mobil dengan penampilan kemarin saat terakhir kali mereka bertemu. Sedangkan itu, laki-laki bertopi tengah mengudarakan asap ke udara tengah duduk di kap mobil.

"Lama," gerutu Narel saat Teresa sampai.

"Macet," jawabnya asal.

Kekehan pelan yang berasal dari laki-laki perokok itu membuat Teresa muak. Ia sudah dimarahi, lalu kini diledek dengan kekehan yang pasti ditujukan untuknya.

"Karma itu nyata Teresa," ujar Narel mengambil tas hitamnya dan menyampirkan di bahu dengan wajah kusut serta kesal. "Lo berusaha mengkhianati gue, sekarang semesta sedang mengkhianati lo."

"Enggak ada yang mengkhianati lo," sanggah Teresa.

"Terus kalau bukan pengkhianatan kenapa gue ada bersama dia? Disekap semalam bukan berarti membuat gue amnesia dengan apa yang terjadi kemarin."

"Intinya tidak ada yang mengkhianati lo," tegas Teresa. Pikirannya sedang kalut, ia malas untuk berdebat lebih jauh bersama Narel. Apalagi di tengah-tengah amukan semesta.

Narel melirik laki-laki yang seusianya itu. "Bisa jadi dia pengkhianatnya."

Seketika puntung rokok yang sisa sedikit lagi dibuang oleh sang empunya dengan kasar.

"Adik gue memang korbannya, tapi bukan berarti gue bertindak bodoh untuk melenyapkan tua bangka itu. Harus ada perhitungan yang akurat," sanggahnya terdengar sedikit masuk akal.

"Gue yang lebih lama mengenal Teresa. Sedangkan lo hanya tamu tak diundang. Bisa saja memang benar lo pengkhianatnya," bela Narel.

Terkekeh pelan, laki-laki itu keluar dari dalam mobilnya. "Seandainya gue berkhianat, ada motif untuk melenyapkan tua bangka itu. Sedangkan lo tidak ada motif apapun."

Narel terdiam.

Hal itu mengundang tatapan curiga Teresa. Apakah ketakutannya terjadi? Narel mengkhianatinya.

Jika benar, maka benda yang tersembunyi di dalam jaketnya akan mengadili laki-laki yang usianya tujuh tahun lebih tua darinya itu.

Ketegangan sempat terjadi di antara mereka. Narel terdiam bukan karena membenarkan ucapan laki-laki seusianya itu. Namun, ia terdiam karena sedang memikiran sesuatu yang sedari siang mengusik pikirannya.

"Bukannya informasi yang lo terima adalah besok pengadilannya?" tanya Narel. "Itu berarti ada yang sedang bermain petak umpet sama lo, Teresa. Sekarang kasih tahu kita informasi darimana kalau pengadilan Barata akan dilakukan besok?"

"Ck! Berkilah dia."

Sindiran itu hanya diabaikan oleh Narel. Laki-laki itu masih menatap Teresa penuh harap. Ia berharap jika dugaannya tidak meleset. Ada seseorang yang memanfaatkan momen dan rencana Teresa.

"Barata sudah tewas. Jelas bukan kemauan gue. Ini meleset dari rencana yang sudah disusun," seloroh Teresa. Ia mencoba menghentikan kedua laki-laki di hadapannya berdebat. Karena tak akan ada jalan keluarnya. Teresa tersesat oleh rencananya sendiri.

Teresa melirik Narel sekilas. Laki-laki itu terus saja menatapnya. Tidak bisa Teresa katakan jika informasi yang ia dapatkan berasal dari Natha, kakak angkatnya. Karena sampai saat ini pun Teresa masih menelaah dalang dari peristiwa hari ini.

TERESA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang