Happy Reading!
Bagian 5
Surat Cinta Untuk Shankara
Jadi, kemarin malam Anjani tidak bisa tidur karena tidak bisa berhenti memikirkan Shankara. Interaksi mereka kemarin berhasil membuat Anjani senyum-senyum sendiri dan lupa akan segalanya.
Gue beliin roti ini buat lo.
Jangan lupa jaga kesehatan ya, Anjani?
Astaga. Bahkan ucapan Shankara kemarin tak bisa enyah dari pikirannya. Anjani merasa sangat berbunga-bunga, lama-lama ia bisa gila jika seperti ini terus.
"Jadi, Mbak Anjani ini sudah memasuki tahap hampir gila karna cinta, yah?" April di sampingnya menceletuk. Temannya itu sudah terlalu lelah mencari topik pembicaraan karena Anjani terus-terusan mengabaikan ucapannya dan hanya memikirkan tentang Shankara, Shankara, dan Shankara.
Anjani tak menjawab dan hanya bisa tersenyum seraya menangkup wajahnya. Alhasil, April makin merasa kesal dengan kewarasan temannya yang sudah hampir hilang itu. "Lo bener-bener udah gak waras ya, Jani? Apa perlu gue bawa ke rumah sakit jiwa?"
Anjani menyipitkan matanya dengan kepala menoleh, "Emang di rumah sakit jiwa ada pengobatan untuk hati yang lagi kasmaran? Kalau ada, gue mau dong, biar gak jadi gila karna Kak Shankara."
April menganga, tak habis pikir dengan Anjani yang dasarnya memang sudah gila. "Astagfirullah, Anjani! Sadar, lo kena pelet ya?" tuduhnya dengan raut ngeri.
Anjani melototkan matanya, "Apa iya gue kena peletnya Kak Shankara?" Bodohnya, Anjani malah balik bertanya.
April menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menyentuh kepala Anjani seraya mengucapkan kalimat berbahasa arab yang tidak Anjani mengerti. "Lo ngapain sih, Pril? Lo kira gue kesurupan?!" Ia memukul tangan April yang masih bertengger di kepalanya.
"Ma Fi Qalbi Ghairullah, Anjani! Tidak ada di dalam hati saya selain Allah! Ikutin gue!" April berseru setelah melepaskan tangannya dari kepala Anjani. Raut wajahnya teramat serius yang membuat Anjani menuruti perkataannya.
"Ma Fi Qalbi Ghairullah! Tidak ada di dalam hati saya selain Allah!"
"Istigfar, Jani!" April kembali berseru lantang.
"Astagfirullah haladzim, Astagfirullah!" Anjani mengusap dadanya dengan jantung berdebar.
"Apa perlu gue sembur air sekalian biar lo sadar?" tanya April seraya mengetuk-ngetukkan jarinya pada dagu. Ekspresi serius gadis itu telah hilang, berganti dengan senyum miring yang terkesan tengil.
Anjani mendengkus seketika, "Apaan sih, Pril? Lo kira gue kesambet apa?" ujarnya tak terima.
April tertawa, "Ya kan biar lo gak terlalu tergila-gila sama Kak Shankara, Jan. Ingat, Allah yang nomor satu, oke?"
"Iya, Ustadzah April." Tawa April semakin pecah mendengar itu.
Anjani meniup poninya sendiri, lantas mengaitkan rambut pendeknya pada daun telinga. Gadis itu menumpukan tangannya pada pagar pembatas lantai dua, sementara netranya memerhatikan siswa-siswa yang bermain basket di bawah sana.
Sudah tahu kan kebiasaan Anjani apa? Yaitu memperhatikan Shankara dari kejauhan.
Senyum di wajahnya tak pernah hilang sampai April menyenggol lengannya. "Baru aja dibilangin jangan terlalu tergila-gila sama Kak Shankara, sekarang udah kambuh aja penyakitnya."
"Ini cuma merhatiin doang kok, Pril, nanti gue istigfar lagi deh," balas Anjani.
April hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan ikut menonton.
Anjani terlalu serius memperhatikan Shankara sampai kemudian cowok itu mendongak dan menatap Anjani dari bawah sana. Sontak, Anjani melototkan matanya, lalu membuang muka dengan jantung berdegup kencang. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati yang terlalu terang-terangan memperhatikan Shankara.
"Mampus! Gila banget lo, Jani!" ujarnya pada diri sendiri.
April di sampingnya yanng juga menyadari tatapan dari Shankara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sementara Anjani masih sibuk mengatur detak jantungnya sendiri. "Tuh kan, gue bilang juga apa! Ini nih sulitnya kalau Kak Shankara tahu keberadaan gue di sekolah ini, gue jadi gak bisa leluasa merhatiin dia kaya yang dulu-dulu kan," ujarnya mengeluh.
"Ya bagus dong biar lo gak terus-terusan merhatiin dia," balas April.
Anjani hanya bisa mendengkus mendengar itu. Baik atau tidaknya, yang pasti setelah ini Anjani tidak akan bisa memperhatikan Shankara lebih sering dari biasanya.
•••
Anjani turun dari bus, lalu berjalan memasuki sebuah komplek perumahan tempat ia tinggal. Gadis itu memegang tali tas di kedua sisi tubuhnya seraya bersenandung pelan.
Sejak berada di kelas sepuluh sampai sekarang yang sudah naik ke kelas sebelas, Anjani tak pernah absen pulang pergi sekolah naik bus. Dibanding naik kendaraan lain, Anjani lebih menyukai naik bus dan berhenti di halte yang dekat dengan perumahannya. Bukan apa-apa, Anjani hanya senang menikmati waktu sendiri seraya berjalan menuju rumahnya setelah turun dari bus.
Pandangan Anjani menoleh pada anak kompleksnya yang sedang bermain bola di tanah lapang. Keringat mengucur di sepanjang pelipis mereka selagi berlarian mengejar dan memperebutkan bola. Senyum muncul di wajah Anjani untuk sesaat, sebelum kemudian mengalihkan pandangnya sambil terus berjalan menuju rumahnya.
Pagar rumah Anjani sudah terlihat dari tempatnya berada, tinggal sedikit lagi agar Anjani sampai, lalu mandi dan beristirahat di rumahnya.
Namun, sebelum Anjani menginjakkan kaki melewati pintu rumahnya, suara keributan terdengar dari dalam sana. Ia sontak memelankan langkahnya, lalu meremas tali ranselnya dengan sesak di dada.
Anjani menutup matanya saat terdengar suara pecahan kaca dan teriakan ibunya. Bersamaan dengan itu, air matanya luruh membasahi pipi. Akibat sesak yang semakin bergelora, Anjani tak sanggup menginjakkan kakinya di rumah itu dan memilih memutar balik tujuannya.
Pada dasarnya, Anjani tak pernah menyukai pertengkaran kedua orang tuanya.
•••
Anjani anak broken home guys🥲
Sejujurnya aku gak nyangka bakal sependek ini, ku kira bakal panjang, ternyata cuma sampe 800-an kata doang, huhu maapkeun.
Part selanjutnya bakal banyak momen Shankara-Anjani nih! Jangan lupa vote dan komennya biar aku makin semangat updatenya ya!
Salam sayang,
B💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Untuk Shankara✔️
Teen FictionAnjani mengagumi Shankara Dipta Anggara sejak lama. Namun, ia tak pernah berani untuk sekedar menyapa. Sikap dingin yang dimiliki Shankara menjadi alasan utama kenapa Anjani tak berani untuk mengakui perasannya. Sampai kemudian, sebuah insiden yang...