34

263 13 4
                                    

Shikamaru mengerjapkan matanya. Langit-langit putih yang asing nampak kabur namun semakin jelas. Seluruh tubuhnha terasa sakit dan berat untuk digerakkan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menganalisa tempatnya berada sekarang ini.

Terakhir yang ia ingat adalah sosok Temari yang meneriakkan namanya dengan khawatir setelah ia terluka saat bertarung dengan Shii.

"Shika? kau sudah sadar?" 

Pemuda itu bisa melihat Temari terburu-buru menghampirinya saat pengelihatannya telah benar-benar jelas. Gadisnya itu tersenyum lega, menggenggam tangan Shikamaru lembut dan menempelkannya ke pipinya.

"Apa ada yang sakit? masih pusing? atau tanganmu terasa kebas?"

Shikamaru terkekeh pelan, senang dengan perhatian kecil dari gadis itu "Tenanglah. Satu-satu tanyanya."

"Bagaimana bisa aku tenang? Kau jatuh pingsan begitu saja, nafasmu memburu, badanmu panas sekali beberapa hari terakhir, bagaimana aku bisa tenang?" Nada bicara Temari sedikit meninggi. Gadis itu menggigit bibinya beberapa saat, mencoba menahan rasa khawatir yang meluap-luap lalu menghela napas berat "Aku takut, membayangkan kau meninggalkanku begitu saja... aku sangat takut."

Shikamaru tersenyum, ia memberi kode agar Temari mendekat dengan gerakan tangan lemah. Gadis itu menurut saja, ia mendekatkan wajahnya, berpikir bahwa Shikamaru akan membisikkan sesuatu.

Namun, Shikamaru bukanlah orang yang bisa ditebak dengan mudah seperti itu. Ia mendorong pelan kepala gadisnya lalu mengecup pucuk kepalanya cukup lama. Ia tersenyum lega, semuanya terasa tenang sekarang.

Temari menjauhkan kepalanya kala Shikamaru melepas tangannya dari belakang kepala. Ia menatap pemuda itu penuh tanda tanya.

"Asal kau tahu saja, hal itu juga yang aku rasakan saat melihatmu tertembak tepat di depan mataku, olehku sendiri-"

"Tidak, aku menembak diriku sendiri. Itu bukan salahmu." Potong Temari cepat.

"Itu salahku. Kita memang ada dalam posisi terpojok saat itu tapi dengan bodohnya aku tidak bisa memikirkan alternatif lain dengan cepat. Maafkan aku."

Temari menggeleng cepat, ia menggigit bibirnya cukup kuat, mencoba menahan air matanya. Suara Shikamaru yang begitu putus asa menyayat hatinya. Ia tak tahu, keputusan implusifnya membuat kekasihnya begitu terluka.

"Aku senang kau merasakan hal yang sama denganku, Temari."

"Khe, kau ada dendam pribadi denganku?"

"Tidak, itu karena aku jadi tahu kalau kau mengkhawatirkanku sama besarnya."

Temari terkekeh, ia menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang diucapkan Shikamaru "Apa yang kau pikirkan selama ini huh? Tentu aku mengkhawatirkanmu, aku ini kekasihmu."

Pemuda bermarga Nara itu ikut terkekeh "Benar juga."

"Intinya, lain kali jangan melakukan tindakan bodoh seperti itu, aku membencinya."

"Iya, baiklah," Shikamaru mengangguk lalu menggapai tangan Temari dan mengecupnya lembut "Tapi kau juga begitu, percayalah pada orang lain, tidak semua masalah harus kau selesaikan, tidak semua masalah kuncinya ada padamu, masih banyak jalan keluar lain, Temari. Kumohon, bergantunglah sedikit saja pada orang lain."

Temari awalnya akan menyangkal tapi mengingat rencana terakhirnya bersama para gadis FBI membuatnya diam. Padahal, Ino sudah memperingatkannya untuk tidak menahan semua sendiri tapi ia tetap melakukannya. Mungkin, selama ini dia sudah seperti itu dan merepotkan orang disekitarnya.

"Kau mau mengajariku untuk memulainya, Shika?"

"Dengan senang hati."

------------000------------

"Sudah Temari, aku kenyang."

"Tidak, kau harus menghabiskan bubur ini. Ayolah, tinggal dua suapan." Temari tetap kukuh sambil memaksa sendok berisi bubur di tangannya untuk masuk kedalam mulut Shikamaru.

Pemuda itu dengan enggan membuka mulutnya, menelan dengan sangat terpaksa. Bagaimana tidak? rasanya benar-benar hambar dan membuat perutnya jadi mual "Sudah, Temari."

"Satu lagi."

"Benda merepotkan itu sangat tidak enak. Aku sudah muak menel-"

"Makan ini atau aku pergi, pilih mana?"

Shikamaru diam total dan menurut saja. Ia memejamkan mata saat menelan suapan terakhir itu. Sungguh, ia sudah tak mau memakan benda menjijikkan itu lagi.

Temari tersenyum puas. Ia meletakkan mangkok di atas nakas dan memberikan segelas air pada Shikamaru. Sudah terhitung seminggu mereka di rumah sakit dan melakukan kebiasaan itu. Si Nara memang nyaman saja, Temari akan datang di pagi hari dan menemaninya seharian lalu pulang saat langit sudah sore.

"Hei Temari, apakah keluargamu... tidak bertanya tentangku? tentang kita?"

"Aku melarang mereka bertanya."

Shikamaru mengerutkan dahinya tanda bingung "Maksudnya?"

"Aku... meminta mereka diam sampai kau sembuh," Temari sedikit menunduk, tak berani menatap manik kekasihnya "Sebenarnya mereka sudah bertanya banyak di hari kau terluka tapi aku meminta mereka untuk memberi waktu untukmu... untukku juga. Aku tidak tau apakah mereka akan menerimamu atau tidak, aku hanya.... maksudku....."

Pemuda itu mengangguk mengerti. Di hari dia meemasuki rumah keluarga Sabaku, ia sudah siap dengan semua kosekuensi termasuk menjauh dari Temari apabila tidak direstui "Aku tahu, Tema. Aku sudah siap bahkan jika harus menjauh lagi darimu."

"Kau bodoh, kenapa juga kau mendatangi keluargaku huh? kau tahu sendiri mereka itu bagaimana."

Shikamaru terkekeh dan menyelipkan anak rambut Temari yang hari itu hanya menguncir rambutnya asal "Aku takut kehilanganmu lagi, Tema. Aku tak bisa."

"Menyebalkan," Gadis itu menggenggam tangan kekasihnya yang ada di pipi dengan erat "Kau benar-benar bodoh, Shika!"

Hanya kekehan yang keluar dari bibir Shikamaru. Ia mendekatkan wajahnya dan mebawa Temari dalam sebuah ciuman panjang yang dalam. Bukan seperti mereka yang dulu, tenggelam dalam cinta membara yang melepas ciuman panas, keduanya kini lebih suka sentuhan yang lembut dan penuh makna.

Temari yang pertama kali melepasnya, ia menatap Shikamaru tanpa mengucapkan apapun beberapa saat "Aku takut, kita baru saja menikmati waktu bersama setelah sekian lama, barru sebentar! aku tak mau terpisah darimu lagi, Shika."

"Aku tahu, aku juga merasakan hal yang sama."

Gadis itu menghela napas, seakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Ia dengan seenak hatii menghambur ke pelukan kekasihnya, toh oemuda itu juga sudah sehat "Aku ingin bersamamu, membagi duniaku denganmu tiap hari."

"Aku juga, Temari."

"Bagimana kalau kita kabur saja? kita bisa memulai hidup baru di tempat lain."

Shikamaru mengurai sedikit pelukan mereka, mencubit hidung Temari dengan kekehan kecil "Jangan melantur, kau jadi terlihat aneh."

"Aku takut mereka tidak menerimamu."

"Temari, dengarkan aku," Shikamaru menangkup pipi Temari dengan sebelah tangan "Aku ingin memilikimu, sangat ingin. Namun, aku ingin memilikimu secara legal, meminta rentu, memperjuangkanmu, menikahimu di depan keluargamu, aku tak ingin menculik putri kecil ayahmu hanya karena keegoisanku semata karena jika nanti kita memiliki seorang putri, aku pun tak ingin anakku direbut oleh pria manapun."

Gadis dengan manik seteduh hutan itu terdiam, pipinya terasa sedikit memanas mendengar penuturan Shikamaru. Maksudnya, siapa yang tidak malu jika pria yang dicintai membahas masa depan kalian berdua dalam ikatan pernikahan?

"Karena itu aku ingin melamarmu, entah apapun jawaban keluargaamu nanti aku tak akan mundur." Ujar Shikamaru yakin.

"Bagaimana jika mereka menolakmu dan menyuruhmu menjauh dariku selamanya?"

"Jika kau adalah takdirku maka kita pasti akan bersatu kembali, yakinlah." Shikamaru tersenyum, mencoba menenangkan Temari "Kita bertemu karena takdir, kita menjadi seperti ini juga karena takdir terus membawa kita mendekat, bahkan saat kau tak mengingatku sama sekali. Aku yakin, kali ini takdir akan menuntun kita lagi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost Love { ShikaTema }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang