Aku harus berangkat dari New York. Itu kulakukan suatu pagi tanpa seri pada bulan November, naik sebuah kapal barang kecil yang akan berlayar ke Asia Timur. Semua keperluan kubawa, termasuk semua uang yang kumiliki. Aku juga membawa kanvas, kuas dan cat yang mencukupi untuk keperluan selama dua tahun, karena aku berniat hendak melukis di Bali.
Batavia, demikian nama Jakarta waktu itu, merupakan pelabuhan persinggahan yang paling dekat dengan Bali, dan dihitung dengan cara bagaimanapun pelayaran ke Jawa tidak bisa dibilang sebentar. Dalam pelayaran ke sana kami memunggah muatan di Afrika, India, Cina, di Semenanjung Malaya dan di Sumatra. Kapal berlayar begitu terus selama berbulan-bulan, sedang aku satu-satunya penumpangnya.
Akhirnya kapal berlabuh di Tanjung Priok, tempat pendaratan untuk pergi ke Batavia, yang letaknya sekitar sepuluh kilometer lebih ke darat. Pulau kencana di mana aku berharap akan bertempat tinggal, di mana kehidupan akan ternyata masih polos dan indah sekali, pulau itu masih agak jauh letaknya menunggu dengan penuh ketenteraman di antara dua segara, Samudera Hindia dan Laut Jawa.
Buruh pelabuhan di Jawa lain dari kuli-kuli lamban yang biasa nampak di Shanghai dan Hong Kong, dengan wajah-wajah tersembunyi di bawah pinggiran topi pandan mereka. Tidak! Buruh pelabuhan di Jawa itu laki-laki berkulit coklat yang lincah, dengan bahu telanjang dan tungkai kekar berkilat seperti logam ditimpa sinar matahari khatulistiwa.
Orang-orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang bersikap angkuh, nampak sejuk dalam setelan putih-putih yang kaku berkanji atau setelan katun penuh kerut, berdiri agak terpisah dari kesibukan para pribumi yang kelihatan seperti semut sedang bekerja. Sesudah puas menyaksikan bahwa semuanya beres, mereka naik taksi yang berkilat-kilat buatan Amerika, untuk membawa mereka pulang, atau ke rumah bola.
Menuju Batavia di mana aku harus mengatur perjalanan ke tujuan terakhir, mobil yang kutumpangi melalui jalan-jalan beraspal di tepi kanal. Hotel-hotel di Batavia di luar dugaanku semula. Ada Hotel Des Indes yang megah, Des Galleries yang nyaman, dan Der Nederlanden dengan gaya "tempo dulu". Semuanya baik sekali. Tamu-tamu penting disambut di gedung-gedung besar dengan halaman rumput yang hijau di sekeliling Koningsplein atau Lapangan Gambir. Dari jendela gedung-gedung itu dapat dilihat Istana Gubernur Jendral.
Jawa waktu itu merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda, seperti halnya dengan seluruh kepulauan Indonesia, dan Batavia mencerminkan segala yang terbaik dari keanggunan jaman kolonial.
Aku bermaksud hendak membeli mobil, lalu mengendarainya menyusur Jawa menuju pelabuhan kecil Banyuwangi yang letaknya di ujung lain pulau itu, dan dari situ menyeberang Selat Bali naik perahu tambang penduduk pribumi.
Orang-orang Belanda yang fasih berbahasa Inggris mau sekali membantuku menukar uang dollar dengan gulden serta menguruskan pembelian mobil, sampai mereka mendengar bahwa aku bermaksud hendak mengadakan perjalanan itu seorang diri. Di Jawa, di mana setiap pemilik mobil mempunyai supir pribumi, dinilai tidak pantas apabila ada orang kulit putih menyetir sendiri. Apalagi bila orang itu wanita. Mustahil! Aku diminta dengan sangat agar melepaskan niatku itu. Lebih baik berlayar dengan nyaman naik kapal KPM, dan mobilku diangkut sebagai barang muatan. Segala nasihat itu kudengarkan saja dengan sikap sopan, sambil mencari ketegasan tentang informasi yang sudah kuperoleh.
Ternyata di Banyuwangi ada nelayan yang bisa disewa untuk mengangkut mobil menyeberangi selat dengan perahu layar.
Aku membeli sebuah mobil kecil berhidung pesek, lalu langsung memutuskan untuk berangkat sendiri malam itu juga. Aku ingin melihat manusia-manusia penghuni Pulau Jawa serta pemandangan alamnya dari dekat. Bagiku bermobil seorang diri melintasi Pulau Jawa sama sekali tidak menimbulkan rasa takut. Aku sudah sering melakukan pengembaraan lintas benua seorang diri dengan mobil di Amerika. Tetapi kemudian aku terpaksa mengakui, perjalanan sekali itu sama sekali lain coraknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...