MEMPENGARUHI NASIB

4 1 0
                                    

Pito kembali dari Bandung dalam keadaan murung dan gelisah. Belanda melakukan berbagai tindakan yang luar biasa kejam terhadap siapa saja yang ketahuan memiliki bendera merah-putih atau lencana dengan tulisan Merdeka. Serdadu-serdadu memaksa tahanan yang ketahuan itu mengunyah serta menelan kain atau lencana itu. Banyak pemuda Indonesia yang menderita cedera yang membekas dalam tubuh sebagai akibatnya.

Pito juga gelisah memikirkan ayahnya yang semakin lemah keadaan jasmaninya karena penyakit malaria dan disentri yang pernah diidap semasa pembuangannya bertahun-tahun dulu kambuh lagi. Pito berusaha membujuknya agar mau pindah dari Bandung ke Yogya yang lebih aman. Tetapi ayahnya menolak. la berkeras hendak melanjutkan perjuangan di kota asalnya.

"Kau masih terlalu muda untuk melakukan tugas berbahaya ini, menjalankan tugas rahasia berkeliling Jawa," kataku pada Pito. "Kau tak pernah ada waktu untuk bersenang-senang. Kau terlalu bersungguh-sungguh, berusaha memikul sendiri beban perjuangan. Kau perlu minta cuti beberapa hari. Nanti kau akan kutemani menikmati kehidupan ini."

Aku sama-sekali tak menyangka bahwa Pito akan langsung mau. Rupanya ia lebih capek dari yang kuduga.

Selama tiga hari kami berlagak turis yang untuk pertama kalinya melihat Jawa. Kami berpiknik, mengunjungi candi Borobudur dan Prambanan, serta melihat-lihat keraton. Kami menghadap Presiden Sukarno dan menghadiri resepsi yang diadakan di istana kepresidenan. Kami menyaksikan tari-tarian dari Sumatra dan pulau-pulau lainnya. Kami berkun- jung ke rumah beberapa seniman Indonesia yang terkenal.

Pito terpesona. Sudah nasibnya semasa kanak-kanak mengembara ke mana-mana, hidup atas kemampuan akalnya sendiri. la tidak pernah mendapat peluang untuk menikmati keindahan Jawa Tengah. la otodidak, yang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Tetapi walau begitu, ia berhasil mempelajari bahasa Belanda sampai hampir selancar bahasa ibunya sendiri. Bahasa Inggrisnya yang diperolehnya sepotong-sepotong dari para turis, bisa dimengerti walau menyalahi aturan tatabahasa. Orangnya perasa dan penampilannya halus. Sikap jalannya seperti pangeran, dengan kepala ditegakkan. Aku merasa bangga terhadapnya.

Akhirnya tiba saat baginya untuk meneruskan perjalanan ke Surabaya.

"Dan dari Surabaya aku akan terus ke Sulawesi," katanya.

"Kenapa Sulawesi?" tanyaku heran.

"Aku ditugaskan menyelidiki Turk Westerling."

la heran bahwa aku belum pernah mendengar nama Kapten Westerling, seorang perwira tentara Belanda yang tersohor karena kekejamannya. Menurut desas- desus yang tersiar, ayahnya orang Belanda, sedang ibunya wanita Turki. Westerling terkenal dengan julukan Algojo.

Ketika Perang Dunia ke-II pecah, Westerling berada di Rotterdam. Ia berhasil melarikan diri ke Inggris. Di sana ia bergabung dengan pasukan-pasukan Belanda yang berperang dalam tentara Inggris, sampai ia berpangkat sersan mayor. Tahun 1943 ia diperbantukan pada Markas Besar Komando Asia Tenggara. Tugas itu dirasakannya tidak sesuai dengan dirinya. la lantas mendaftarkan diri secara sukarela untuk melakukan dinas ketentaraan di Birma. Kemudian ia bertugas dalam angkatan bersenjata Sekutu.

Tahun 1945 Westerling melakukan pendaratan dengan payung, terjun di Sumatra Timur untuk tugas penyelidikan. Ketika pasukan-pasukan Inggris sampai di sana setelah Jepang menyerah, mereka kaget ketika melihat Westerling sudah menguasai keadaan di sana. Ia berhasil menyusun dinas rahasia yang kabarnya mencakup setengah pulau itu.

Mengenainya, seorang perwira Inggris menulis dalam suatu harian yang terbit di Singapura:

Saya mengunjungi Kapten Westerling di bungalownya. Ketika kami sedang minum kopi, tiba-tiba Westerling mengambil kepala seorang Indonesia yang sudah terpancung dari keranjang sampah. Ia mengatakan, "Anak buahku  membuntuti jejak pemberontak ini sampai ke tempat tinggalnya. Kemudian aku menyamar menjadi seorang pribumi. Dengan muka tertutup topeng setan, kumasuki rumah pemberontak ini. Aku bersembunyi di pojok kamar tidurnya, menunggu ia kembali. Ia terpaku ketakutan ketika melihatku. Kupegang tangannya, lalu kukatakan bahwa ini hari terakhir kehadirannya di atas bumi. la kuberi makan, lalu kukunci dalam kamar mandi. Pukul empat pagi aku masuk ke kamar mandi. Pemberontak itu kusuruh membalikkan tubuh. Kuayunkan pedangku. Dengan sekali tebas, kepalanya sudah terpancung."

"Belanda mengirim Westerling ke Sulawesi, untuk menindas perlawanan di sana," kata Pito padaku. "Dan ia melakukannya dengan kejam, tanpa mengenal perikemanusiaan. Wanita dan anak-anak yang pulang dari pasar, kaum lelaki di jalan, semua ditembak mati olehnya dengan begitu semena-mena. Orang-orang diambil secara acak, lalu ditembak mati sebagai peringatan bagi yang lain-lain. Penduduk sebuah desa dibantai habis-habisan. Mereka dipaksa menggali lubang kubur untuk diri mereka sendiri."

Aku bergidik, membayangkan seorang pemuda yang belum berpengalaman diutus ke Sulawesi untuk menyelidiki perbuatan seorang gila. Bagaimana kalau Pito sampai jatuh ke tangan Westerling? Kucatat dalam hati untuk meminta Bung Amir agar mempergunakan pengaruhnya untuk mengganti Pito dengan orang lain yang lebih tua. Tetapi tentu saja aku tidak bilang apa-apa pada Pito sendiri.

Ketika berpisah, Pito mengatakan bahwa ia akan singgah dua minggu di Surabaya, sebelum meneruskan perjalanan ke Sulawesi. Namun aku tidak heran ketika beberapa hari kemudian ada telepon untukku dari Surabaya. Pito yang menelepon, untuk mengatakan bahwa tugasnya ke Sulawesi dibatalkan. Ia digantikan oleh seseorang yang lebih tua. Aku tersenyum sendiri, sambil mengucapkan terima kasih dalam hati pada Bung Amir.

Penyelidik yang menggantikan Pito tidak kembali dari Sulawesi. Ia dinyatakan hilang.

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang