PERKENALAN PERTAMA DENGAN POLITIK

12 2 0
                                    

"Kau masih ingat desa Kintamani?"

Agung Nura memasuki studioku, seperti yang sering dilakukannya. Tentu saja aku masih ingat pada desa itu. Di Kintamani kami meninggalkan mobil, ketika kami hendak menghadiri upacara penenggelaman binatang-binatang korban di danau.

"Ya malah ingat sekali," jawabku. "Letaknya dekat kawah."

"Ayahku punya perkebunan kopi yang luas, tidak jauh dari situ. Pemandangannya indah, dengan gunung-gunung. Kau mau ikut aku dan adikku berkunjung ke sana?"

Tentu saja aku mau.

"Sekarang sudah waktunya kopi dipetik," kata Nura. "Hasilnya dijual pada pedagang-pedagang Cina dan Arab, yang datang untuk membeli buah yang masih ada di pohon. Paling tidak sebulan aku harus disana, karena macam-macam yang perlu kuurus. Aku harus mengawasi, jangan sampai para pedagang membeli biji kopi dengan harga terlalu murah, In bukan saja untuk kepentingan ayahku, tetapi jug penduduk desa sana. Dulu mereka ditipu habis habisan."

"Sebulan penuh?" tanyaku. "Jangan-jangan ayahmu tidak setuju aku pergi."

"Awalnya memang mungkin begitu, tetapi jangan khawatir. Kita berdua pasti bisa membujuknya. Kelihatannya ayah menurut sekali apa maumu. Jika kau sendiri benar-benar ingin ikut, persoalan sudah bisa dibilang beres."

"Aku tidak suka berbuat sesuatu yang tidak disetujui ayahmu," kataku.

"Sudahlah," kata Nura, "kita urus saja sekarang."

Raja kami jumpai sedang bersila di atas tikar, sibuk mengukir sepotong emas untuk membentuk tokoh Arjuna. Ia biasa berjam-jam lamanya asyik menatah patung dewa-dewa Bali, dari kayu maupun logam. Bangsawan tua itu sangat berbakat.

Dengan segera kami mengetengahkan keinginanku, ikut dengan Nura dan Ksiti ke perkebunan. Sesaat Raja tidak menjawab. Terdapat kesan seolah-olah ia tidak mendengar kami. Kemudian barulah ia membuka mulut.

"Kau tidak takut kedinginan nanti di sana?"

"Saya sudah biasa dengan hawa dingin," kataku menjelaskan.

"Ksiti perlu teman nanti, sementara aku sibuk menghadapi para pedagang," sela Agung Nura. "Dan aku juga ingin ada yang bisa diajak mengobrol malam hari, di samping Ksiti."

"Ah, jadi Ksiti memerlukan teman rupanya," kata ayahnya dengan nada berkelakar. "Lalu, bagaimana dengan aku? Aku akan merasa kehilangan, tidak bisa mendengar kisah K'tut malam-malam tentang negerinya yang hebat. Dan tak ada yang bisa mengajari aku berbahasa Inggris. Padahal aku sudah mulai bisa. Jika kalian pergi sebulan, nanti aku akan lupa lagi segalanya yang pernah diajarkan K'tut padaku."

"Anda kan bisa ikut", kataku, "atau setidak- tidaknya datang sekali-sekali mengunjungi kami. Tempatnya kan tidak begitu jauh."

Raja mendengus.

"Kau belum tahu, di tempat seperti apa anakku membangun rumahnya! Letaknya jauh sekali dari jalan raya. Mobil tidak bisa ke situ. Kecuali itu, selaku regent aku punya tugas-tugas di sini. Tidak! Aku tidak bisa ikut dengan kalian."

Akhirnya Raja tentu saja mengalah.

"Memang," katanya mengakui, "aku ini lelaki tua yang mementingkan diri sendiri saja, maunya terus saja didampingi K'tut. Kurasa nanti K'tut pasti akan sangat senang bisa kembali ke puri-yang merupakan tempat yang jauh lebih layak dan beradab bagi wanita muda. Juga wanita dari Barat."

Beberapa hari kemudian kami sudah siap untuk berangkat. Raja melepas kami dengan sikap riang.

"Nah, K'tut," katanya mewanti-wanti, "awas ya, jangan sampai minggat nanti dengan pedagang Cina! Aku sudah kehilangan seorang anak perempuan dengan cara begitu. Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi."

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang