Setelah mengantarkan Pito ke stasiun kereta api, aku kembali ke pangkalan penyeberangan di Banyuwangi. Aku mencari perahu, untuk membawa aku kembali ke Bali. Tetapi saat itu hari sudah mulai gelap. Tukang perahuku sudah pulang.
Perasaanku menjadi murung. Cuaca seakan-akan menyesuaikan diri dengan perasaanku waktu itu, karena tahu-tahu awan mendung sudah menggelapi langit, menutupi bintang-bintang. Terlintas pikiran untuk menginap saja malam itu di salah satu hotel di situ. Tetapi kegelisahanku takkan memung- kinkan aku bisa tidur. Lagipula, masih ada persoalan mobilku yang kutinggal tanpa penjagaan di pantai seberang. Aku lantas bertekad, malam itu juga aku harus menyeberang.
Tukang-tukang perahu yang ada di pangkalan kutanyai satu-satu, apakah ada yang mau menyebe- rangkan aku. Tetapi semua menggelengkan kepala. Angin mulai kencang. Pasang air laut tidak cocok; ombak terlalu besar.
Capek berjalan hilir-mudik tanpa hasil, aku mampir di sebuah warung kopi yang langganannya awak perahu dan anak kapal asing yang memunggah muatan di situ. Sebuah lampu minyak kecil memancarkan sinar remang. Sejumlah pria Asia duduk mengelilingi meja hidangan yang bersahaja. Lelaki Indonesia berkulit sawo matang, orang Cina berkulit kuning, Arab serta beberapa orang India memakai serban.
Paras mereka yang tak menunjukkan gerak perasaan hanya nampak samar diterangi cahaya berkelap-kelip Sekitar selusin manusia duduk berdekat-dekatan di situ. Tapi aneh, tidak seorang pun yang berbicara. Aku merasakan adanya suasana waspada, bahkan ketegangan walau mereka kelihatannya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Aku berpakaian seperti remaja pria, memakai jaket katun dan celana panjang. Aku berpakaian begitu bukan untuk menyamarkan diri, tetapi hanya supaya bisa leluasa dalam menyetir mobil. Walau begitu ada untungnya juga dikira pemuda. Aku merasa lebih aman karenanya, dan aku tahu bahwa dengan begitu aku tidak begitu menarik perhatian orang. Di warung pinggir jalan itu aku mengancingkan jaket, menying- singkan celana, menjamah kepala untuk meyakinkan bahwa rambutku tersembunyi dibawah baret, lalu mengambil tempat di bangku menghadap meja. Aku tidak memakai make-up, kulitku coklat terbakar sinar matahari, dan tinggi badanku tidak membuat diriku menyolok di antara orang-orang bangsa bertubuh pendek.
Dengan gaya biasa aku meminta kopi tubruk, sambil menyodorkan sekeping uang ke arah yang punya warung. Aku menirukan gaya tegar pelaut yang kasar.
Ketika aku sedang menghirup kopiku, India yang duduk di sebelahku dengan sopan bertanya dalam bahasa Inggris pasar yang enak didengar telinga, apakah aku dari salah satu kapal asing yang saat itu sedang memunggah muatan di depan Banyuwangi. Aku menggeleng. Kukatakan, aku sedang mencari kemungkinan menyeberang ke Bali.
India itu meneruskan kata-kataku itu pada orang-orang yang ada di situ. Mereka langsung sibuk berbincang.
Wajah mereka yang semula nampak kosong, saat itu berseri-seri memancarkan senyum dan perhatian. Setelah bermusyawarah panjang lebar dengan orang-orang yang lain, si India berpaling lagi padaku.
"Bisa, bisa," katanya. "Sesudah pukul dua belas nanti ada perahu yang berangkat, dengan muatan ikan, seekor kambing, dua pedagang Bombay dan seorang Cina. Semua hendak ke Bali. Kau pun bisa ikut asal mau patungan."
"Perahunya nanti di Bali mendarat di mana?" tanyaku.
Orang India itu menggambar peta Bali di atas meja.
"Perahu mendarat di pantai sebelah sini," katanya. Sambil menggerakkan tangannya yang satu lagi, ia meneruskan, "Bis Cina menyongsong perahu, lalu pergi ke desa Jembrana yang letaknya tujuh kilometer dari situ."
Hatiku terasa kecut. Dari peta-peta yang kubeli di Batavia, kuketahui bahwa Jembrana itu letaknya paling sedikit tiga puluh kilometer dari Gilimanuk. Padahal di situlah aku meninggalkan mobilku di pantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...