Jelaslah sudah bahwa Belanda takkan mau secara sukarela mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Indonesia terpaksa berjuang untuk mem- pertahankan kemerdekaan yang baru saja dinyatakan.
Di seluruh Jawa menggelora rasa kebencian. Inggris mengangkut tentara Belanda dalam jumlah ribuan kembali ke Jawa, walau sudah diprotes Sukarno.
Kini terjadi pertempuran di tiga front. Dari hari ke hari keadaan menjadi semakin genting. Di daerah-daerah yang dikuasai Republik sudah tidak kelihatan lagi orang berkulit putih di jalanan kecuali aku. Bahkan ada yang menyangsikan keselamatanku jika tampil di tempat ramai, saat aku pindah lagi dari rumah Kolonel X kembali ke Hotel Merdeka.
Sesampaiku di situ, ternyata hotel itu penuh sesak dengan anggota tentara. Aku tak mungkin bisa mendapat tempat, apabila tidak ada perhatian dari Bung Amir yang melowongkan kamarku selama aku tidak menempatinya. Ruang depan hotel penuh dengan pemuda-pemuda yang baru saja kembali dari front timur. Mereka capek, kehabisan tenaga. Mereka bergeletakan tidur di lantai dan di atas kursi, karena tidak ada lagi kamar kosong. Banyak di antara mereka yang sudah compang-camping pakaiannya, bermata cekung dan bertubuh kurus-kering. Banyak yang sudah setengah mati kelaparan. Tetapi semua menggenggam senjata mereka erat-erat.
Hati nuraniku tersentuh. Para pemuda itu bukan anggota tentara resmi, tetapi petani dan mahasiswa laskar yang berhasil menahan gerakan maju bala tentara Inggris, Belanda, Gurkha dan Jepang yang serba modern persenjataannya. Para pemuda itu telah membuktikan ketabahan yang luar biasa. Banyak sekali pengorbanan yang sudah diberikan.
Aku merasa malu ketika memandang kamarku yang luas dan nyaman. Dua tempat tidur yang besar-besar dalam kamar, serta sebuah dipan di beranda. Masing-masing tempat tidur besar itu bisa ditempati empat pemuda bertubuh kecil itu. Aku tidak bisa menyerahkan kamarku, karena di hotel itu tidak ada wanita lain dengan siapa aku bisa tinggal sekamar. Tetapi aku bisa saja membagi kamarku dengan para pejuang kemerdekaan yang sudah capek berperang itu. Akhirnya sebelum aku bisa berubah pikiran atau bahkan merenungkan perbuatanku, maka kamar tidurku sudah terisi dengan sepuluh pejuang yang tidur pulas. Delapan di dua tempat tidur, dan dua lagi di atas tikar.
"Anda orang Indonesia sejati, K'tut," seru Bung Amir, ketika ia mendengarnya. "Sulit rasanya membayangkan bahwa Anda sebangsa dengan orang-orang yang telah begitu menyengsarakan kami."
Aku tidur nyenyak sekali malam itu, begitu pula dua malam berikutnya selama para pejuang itu menjadi tamuku. Mungkin itu disebabkan karena hati kecilku sudah tenang. Dan selama tiga hari mereka juga bisa makan sampai kenyang.
Hidupku saat itu sibuk sekali. Setiap hari aku mengadakan siaran. Kadang-kadang dari Yogya, dan kadang-kadang dari Solo. Aku menulis naskahku sendiri dalam bahasa Inggris. Majalah The Voice of Free Indonesia sudah beredar. Terbitnya di Jakarta, yang masih dikuasai Inggris dan Belanda. Dengan begitu para koresponden asing di kota itu bisa memperolehnya secara teratur, untuk mengutip artikel-artikel yang dimuat di situ. Dalam setiap nomor selalu ada satu atau dua artikelku.
Salah satu artikelku membangkitkan kemarahan Belanda. Artikelku itu kuberi judul Lest We Forget - Agar Kita Jangan Lupa. Di dalamnya aku mengingatkan Belanda pada sikap mereka yang memalukan semasa penyerbuan Jepang, bagaimana ada bangsa mereka yang mau bekerja sama dengan Jepang serta sejumlah perwira tentara lari dari Jawa dengan jalan mencuri pesawat-pesawat terbang Australia, meninggalkan para prajurit Australia sendiri untuk menghadapi musuh. Pihak Belanda begitu marah, sampai mereka menggerebek kantor percetakan majalah The Voice of Free Indonesia. Sebagian mesin dirusakkan, sedang nomor yang memuat artikelku disita semuanya. Tetapi nomor itu sudah sempat tersebar luas dan dikutip berbagai pihak.
Di seberang garis demarkasi yang merupakan daerah Republik, begitu pula di Yogya, saat itu mulai dialami kekurangan pangan, terlebih-lebih beras. Belanda melancarkan aksi blokade ketat, sehingga bahan-bahan keperluan yang biasanya didatangkan dari daerah lain hampir-hampir tak ada yang bisa masuk. Banyak orang Indonesia yang gugur dalam usaha menembus blokade itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...