Saat itu aku sudah merasa yakin dan pasti, tempatku yang sebenarnya di dunia ini memang di Bali, tanah air pilihanku. Aku berpendapat bahwa lebih banyak lagi yang perlu kuketahui. Lebih banyak lagi dari yang bisa kuperoleh dengan memakai sudut pandang puri. Aku harus pergi sendiri, hidup di tengah rakyat kampung. Kata-kata Agung Nura sangat menyentuh perasaanku.
Raja menatapku dengan heran, ketika kunyatakan niatku hendak pergi dari istana untuk berkelana menyusur pulau.
"Kau sama sekali tidak perlu meninggalkan puri, apabila ingin tahu bagaimana kehidupan rakyat, K'tut," katanya. "Kau kan sudah melihat desa-desa yang paling terbelakang! Kau sudah mengenal kampung, upacara-upacara rakyat, dan aku bisa menceritakan apa saja yang ingin kauketahui tentang sistem yang berlaku di sini. Percayalah tentang segala-galanya."
Aku tahu tetapi aku tetap berkeras.
"Justru itulah yang menjadi persoalan. Aku tidak ingin mendengarnya saja. Aku harus melihatnya sendiri! Aku harus tinggal di tengah-tengah mereka, merasakan makanan mereka, berbuat seperti mereka."
"Nura sudah bercakap-cakap denganmu rupanya. Ia mempunyai gagasan edan, hendak membebaskan rakyatnya. Padahal keadaan mereka masih lumayan. Kami, para aja yang menjamin hal itu. Lagi pula tidak mungkin kau bisa hidup seperti mereka! Kau wanita muda dari Barat, yang biasa hidup denga segala kenyamanan? Kejorokan kampung pasti akan membuatmu muak! Sedang para petani sama sekali tak berpendidikan, Sama sekali tak ada kesamaan antara dirimu dengan mereka. Ya aku tahu bagaimana pandangan putraku. la hendak member mereka kamar mandi, sekolah, koperasi, bahkan pada rakyat yang paling jelata sekalipun. Ia telah membuatmu menjadi sekutunya dalam perjuangannya seorang diri menghadapi penjajahan negerinya oleh orang asing. Tetapi tidak ada jalan menuju ke kebebasan seperti yang diinginkan olehnya, kecuali jika terjadi keajaiban."
"Aku percaya pada keajaiban," kataku.
Setelah berdebat panjang-lebar, akhirnya mengalah.
"Begitu besar minatmu rupanya. Kau sangat mencintai bangsa kami," katanya sambil tersenyum. "Aku takkan menghalang-halangi niatmu itu. Bukankah aku selalu mau menuruti kehendakmu, K'tut! Tetapi aku tidak begitu kecewa, karena tahu bahwa kau pasti akan kembali lagi ke puri, lebih cepat dari yang kauduga. Kau takkan tahan lama-lama menjalani kehidupan yang kaubayangkan sekarang."
Ketika kuceritakan niatku pada Agung Nura, di satu pihak ia merasa senang, karena dengan itu nampak betapa perasaanku terhadap bangsanya. Tetapi ia juga merasa berkewajiban memaparkan dengan lebih jelas, apa yang akan kuhadapi nanti.
"Kau akan jatuh sakit karena memakan makanan mereka, yang dimasak dengan cara mereka. Mereka sama sekali buta tentang soal-soal kebersihan. Kau mungkin akan terserang disentri, atau bahkan malaria. Jangan sekali-sekali minum air yang belum dimasak sampai mendidih. Air diambil langsung dari kali, yang dipakai sebagai tempat membuang kotoran. Kalau tidur jangan lupa memasang kelambu "
Kecemasanku mulai timbul. Kusampaikan hal itu pada Nura. Tetapi ia tidak bisa memberikan jawaban yang menenangkan hati.
Sebelum aku meninggalkan puri, Raja menghadiahi aku bros emas yang dibuatnya, dengan namaku serta kata-kata, "Kau takkan pernah dilupakan" terukir dalam bahasa Sansekerta di baliknya.
Agung Nura memberiku sesuatu yang lebih berharga lagi: sekeping uang kuno dari perunggu yang tergantung pada kalung emas. Kalung begitu dikenal sebagai jimat kasih Arjuna, dan dikatakan mengandung kekuatan gaib, untuk melindungi pemakainya dari mara bahaya.
"Jika kau memakai kalung itu, takkan ada yang bisa merebut tempat kami dalam hatimu, K'tut," katanya, "atau membawa kau pergi dari pulau ini tanpa persetujuanmu."
Nura sungguh-sungguh percaya pada hal itu. Dan aku pun ikut terpengaruh. Selama kediamanku di Bali, aku selalu mengenakan kalung itu. Dan di pinggangku kupakai kotak kecil pemberian Pito. Mungkin saja kedua jimat itu benar-benar ampuh. Siapakah yang bisa membuktikan kebalikannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...