OPERASI KUCING-KUCINGAN

6 1 0
                                    

Aku membuka mata, disongsong pagi yang cerah. Matahari sudah sepenggalah tingginya.

Orang Ambon nakhoda kapal itu memperkenalkan diri. Kemudian menyusul keempat pejuang yang saat itu menjadi awak kapal. Tiga dari mereka pernah kukenal, sewaktu aku masih di Mojokerto.

Siangnya barulah nakhoda Inggris yang digunakan sebagai kedok itu muncul terhuyung-huyung di atas geladak, dengan mata merah dan tampang kumal. Begitu melihat dirinya, aku langsung merasa kasihan. Seorang lelaki tua yang kesepian yang hampir sepanjang umurnya selalu mengarungi samudera luas. Dunia yang diakrabinya selama itu buyar, ketika ia dipensiun tanpa kemauannya sendiri. Sedikit pun tak ada sisa yang bisa dijadikan pegangan baginya. Sebetulnya ia orang baik-baik.

Laut sedang menggelora. Kapal kami yang kecil terlambung-lambung dipermainkan ombak. Kapal itu disamarkan seolah-olah kapal nelayan pribumi, untuk berjaga-jaga jika ada pesawat Belanda yang ingin tahu lalu melayang rendah di atas kepala kami. Lantai geladak diselubungi jala. Bau ikan menyengat hidung.

Di atas kapal hanya ada sebuah jamban kecil, sedang kamar mandi sama-sekali tak tersedia. Tetapi awak kapal tidak kurang akalnya. Sebagian dari buritan dipisahkan oleh bentangan kain layar. Di balik dinding darurat itu ditaruh sebuah ember yang diikatkan pada seutas tambang. Dengan begitu aku bisa menimba air laut dan mandi dengannya. Dengan cepat aku sudah terbiasa dengan suasana bersahaja di kapal itu. Itu masih mewah, kalau kubandingkan dengan keadaanku sewaktu dalam penjara Jepang dulu.

Dua hari kami berlayar dengan damai, tanpa mengalami kejadian apa-apa. Tetapi petang hari kedua, sebuah kapal nampak di ujung pandangan. Selama itu alur pelayaran kami selalu mengular. Mula-mula ke utara, lalu ke barat, kemudian menuju selatan.

Nakhoda yang orang Ambon _untuk gampangnya saja kusebut Kapten Ambon, menatap kapal yang nampak di kejauhan itu.

"Kita harus cepat-cepat menuju pantai," katanya. "Aku tahu, sekitar dua mil dari sini ada sebuah teluk kecil. Kita bisa bersembunyi di situ, sampai Belanda itu sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tidak bisa mengejar kita ke perairan dangkal. Untung mereka masih jauh jadi kita masih punya waktu."

Mesin kapal dijalankan dengan putaran penuh. Tubuh kapal bergetar karena beban tambahan tenaga yang timbul. Kapal kami melesat ke teluk yang terlindung dan bersembunyi di situ. Kapal Belanda mondar-mandir beberapa kali di mulut teluk. Tetapi akhirnya pergi lagi. Rupanya komandan kapal itu menarik kesimpulan bahwa kami kapal nelayan dari salah satu desa yang banyak bertebaran sepanjang pesisir Sumatra.

Ketika hari sudah gelap kami ke luar lagi, lalu meneruskan pelayaran menuju utara. Kami selalu bergerak sedekat mungkin ke pantai. Keesokan harinya kami menuju ke tengah laut lagi. Tetapi sekali lagi kami terpaksa lari terbirit-birit mencari perlindungan, ketika sebuah kapal penjelajah Belanda muncul lagi di kejauhan. Sekali itu kami bersembunyi di balik tebing karang yang mencuat. Berjam-jam kami menunggu, sementara kapal perang itu tidak henti-hentinya hilir-mudik. Beberapa kali Kapten Ambon menyatakan kekhawatirannya, kalau-kalau Belanda mengirimkan sekoci untuk memeriksa. Tetapi untung itu tidak terjadi. Akhirnya kapal penjelajah pergi lagi, menuju ke timur.

Menjelang senja kami memberanikan diri ke luar lagi, lalu melanjutkan pelayaran ke arah barat laut. Syaraf kami sudah tegang sekali karena saban kali harus cepat-cepat bersembunyi ke pantai. Tetapi apa boleh buat lebih baik begitu daripada celaka.

Berlayar melalui Selat Bangka berbahaya, karena arus di situ sulit diduga. Tetapi Kapten Ambon ternyata pelaut yang tangkas dan tidak gampang gentar. Kelihatannya ia mengenal baik situasi perairan sepanjang pesisir Sumatra. Orangnya bersyaraf baja. Jelas kelihatan bahwa ia menikmati permainan kucing-kucingan dengan Belanda itu.

Kubayangkan betapa indahnya lukisan yang bisa kuciptakan, menampakkan sang nahkoda memegang roda kemudi seperti perompak tampan dari masa yang sudah lampau. Memandang wajahnya yang terbakar sinar matahari, gigi putih berkilat, rambut panjang ikal dibalut ikat kepala merah-putih, aku lantas terkenang pada tokoh Pangeran Diponegoro tetapi dengan kapal kayu serta kompas yang menggantikan kuda hitam serta pedang yang terhunus.

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang