Para perwira tinggi tentara Republik Indonesia waktu itu semuanya masih muda-muda. Angkatan bersenjatanya sendiri masih bisa dibilang bayi, yang baru dilahirkan dari kancah revolusi. Kebanyakan tokoh pimpinan tentara itu cenderung menampakkan sikap yang sesuai dengan ilmu padi. Pengalaman mereka belum banyak. Namun semangat mereka terasa menyegarkan.
Salah satu yang paling cerdas di antara orang-orang muda itu seorang mayor yang berkedudukan tinggi dalam dinas rahasia Indonesia. Orangnya sangat menarik dan lincah. Aku selalu senang apabila ia mampir sebentar ke tempatku di Hotel Merdeka, karena pasti selalu ada saja kabar terbaru yang dibawanya dari front di Surabaya. Begitu pula bahan pergunjingan menarik dibumbui dengan komentarnya yang lucu-lucu.
Kalangan pergaulan tingkat atas di Yogya waktu itu biasa datang ke Hotel Merdeka, yang merupakan tempat kedudukan resmi pemerintahan serta laskar revolusi.
Kerai bambu di depan beranda kamarku menahan panas terik sinar matahari suatu siang. Saat itu aku sedang bercakap-cakap dengan mayor itu, mengenai kecelakaan mobil yang baru saja dialami Bung Amir. Kecelakaan itu terjadi di Solo. Untung menteri pertahanan tidak sampai luka berat. Saat itu ia berbaring di rumah sakit kota Solo. Akhirnya mayor itu sampai pada maksud kun- jungannya yang sebenarnya.
"Aku di utus Bung Amir menyampaikan pesan penting pada Saudara," katanya santai, sambil tersenyum manis, "la menginginkan bantuan Saudara dalam suatu persoalan yang memerlukan kebijaksanaan dan keberanian besar."
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, dengan nada yang sangat serius ia menuturkan kisah yang kedengarannya seperti berasal dari cerita spionase murahan.
"Saat ini kelihatannya ada yang sedang mengatur rencana untuk membunuh Presiden Sukarno dan menggulingkan pemerintahan," katanya.
"Membunuh Presiden!" kataku dengan nada kaget sekali.
"Jangan panik dulu," kata mayor itu menenangkan, "Usaha sudah dilancarkan untuk menyelidiki siapa-siapa saja yang terlibat dalam persekongkolan itu, di samping tiga orang yang baru saja datang di Yogya dari Bandung. Mereka sudah diketahui merupakan kaki-tangan Belanda."
"Kenapa mereka tidak langsung saja ditangkap?" tanyaku.
"Menurut dugaan kami, pemimpin komplotan itu seorang wanita keturunan ningrat. Orangnya cantik dan pintar, serta sangat licin. Suaminya pegawai tinggi sebuah bank milik Belanda di Bandung, dan kabarnya bergelimang uang pemberian Belanda."
Aku diam menunggu kelanjutan ceritanya.
"Di samping keduanya ada pula seorang pria, teman wanita ningrat itu. Mereka bertiga biasa mondar- mandir datang dari Bandung, sambil menghambur-hamburkan uang. Dari mana mereka memperolehnya? Tak ada orang memiliki uang sebanyak itu, kecuali Belanda serta kaki-tangan mereka."
"Pokoknya," kata mayor itu mengakhiri penuturannya, "menurut Bung Amir, Saudara yang paling bisa membantu kami menghadapi urusan ini. Tentu saja tugas ini mungkin mengandung bahaya."
Kalimat terakhir itu ditambahkannya, seolah-olah dijadikan pancingan yang menarik.
"Terus," kataku.
"Bung Amir ingin agar Saudara mendekati wanita ningrat itu. Ia menginginkan Saudara menyelidiki rencana ketiga orang itu, serta siapa saja pengikut mereka."
"Hanya itu saja?" kataku sarkastis, "Lalu apa yang menyebabkan Bung Amir mengira orang selicin wanita ningrat itu mau mempercayai diriku, seseorang yang tak dikenalnya?"
"Justru di situlah letak persoalannya. Setiap orang tahu bahwa Saudara pernah ditawan Jepang karena dianggap mata-mata Amerika. Saudara tidak bisa menebak, betapa itu bisa kami manfaatkan, sementara Saudara mendapat kesempatan untuk membuktikan reputasi Saudara? Saudara akan kami angkat menjadi Mata-mata Luar Biasa," katanya sambil tertawa-tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...