Singapura diduduki. Belanda kaget, lalu sibuk. Singapura lebih dekat daripada Pearl Harbor bahkan terlalu dekat. Daerah jajahan Belanda kini terancam secara langsung. Tidak ada lagi penerbang datang ke Swara Segara. Mereka semua sibuk berperang. Peperangan mereka.
Tak lama lagi, Jawa pasti akan mendapat giliran. Pihak Jepang memiliki pesawat terbang, kapal induk dan bala tentara yang terlatih baik. Mungkin saja mereka takkan datang ke Bali karena dinilai tak berarti. Tetapi mereka pasti akan membomi lapangan udara, yang dijadikan pangkalan pesawat-pesawat Inggris, Australia dan Belanda. Di pantai Sanur dan Kuta dipasang pagar kawat berduri sampai tiga lapis. Di mana-mana bermunculan kubu-kubu pertahanan dan meriam-meriam.
Bagian depan hotelku kelihatannya seperti benteng yang aneh. Di bagian belakang digali lubang perlindungan. Tetapi kemudian pekerjaan itu dihentikan, karena dianggap tidak banyak gunanya. Hanya sebuah lubang di pasir dan berdinding papan. Lubang itu takkan bisa memberikan perlindungan pada siapa-siapa. Saat itu kurasa aku satu-satunya orang Amerika yang masih ada di sana.
Seorang perwira Belanda meminta dengan sangat, agar aku mau pergi dari hotelku.
"Kalau ada satu saja bom menyasar kemari, seluruh tempat ini pasti hancur-lebur," katanya.
Mungkin saat itu aku benar-benar sudah menjadi orang Bali. Mereka tidak pergi meninggalkan pulau itu. Mereka tidak bisa pergi. Lagipula, menyakitkan hati bahwa tawaran rakyat untuk ikut mengangkat senjata membantu peperangan ditolak oleh Belanda. Mereka semakin bingung, ketika mendengar desas-desus tentang kekejaman Jepang terhadap tawanan mereka. Apakah Jepang datang selaku penyelamat, atau penindas yang haru? Tidak ada yang tahu.
Aku menerima pesan lagi dari Agung Nura. Ia mendesak, agar aku menyelamatkan diri ke puri ayahnya. Tetapi aku ingin tetap tinggal di tempatku sendiri. Mungkin saat itu aku sedang bingung, walau aku sendiri tak menyadarinya. Aku bahkan mulai menambah jumlah pavilyunku. Bagiku, Swara Segara sudah menjadi semacam lambang, seperti jimat Arjunaku. Aku tidak mau melepaskannya. Aku seolah-olah beranggapan bahwa keselamatanku terjamin karenanya.
Ketika lapangan udara akhirnya diserang dengan bom, aku masih saja tetap bertahan. Mungkin aku begitu kaget, sehingga tidak mampu lagi berbuat apa-apa.
Semuanya itu berlangsung dalam waktu singkat. Saat itu maupun sekarang, aku tidak bisa mengatakan dengan tepat waktu kejadian masing-masing. Hotelku masih tetap utuh.
Suatu hari Wayan datang membawa berita bahwa Jepang sudah sampai di pantai Sanur, hanya sekitar dua belas kilometer dari tempatku.
"Anda harus segera mengungsi," katanya. "Anda belum tahu, tapi orang sekarang mulai panik. Dan itu lebih berbahaya daripada tembak-menembak. Orang Belanda mulai minggat. Sebentar lagi Anda akan melihat mereka lari."
Dan memang itulah yang kusaksikan. Bukan para pegawai pemerintah karena mereka diperintahkan tetap berada di tempat masing-masing, di samping perkiraan mereka bahwa Jepang tinggal di situ tetapi kebanyakan pengusaha Belanda serta agen agen perusahaan perkapalan. Bahkan militer Belanda pun pontang-pontang panting, ketika teratat kabar bahwa Jepang sudah mendarat, Bukan di Jawa tetapi di Bali !
Aku memperhatikan betapa mereka mereka, militer Belanda dan keluarganya itu mencampakkan pakaian seragam atau pakaian lainnya yang mereka kenakan. Mereka menggantikannya dengan busana pribumi, sementara muka mereka dipoles sehingga kelihatan coklat. Kepanikan semakin menjadi ketika Belanda mulai membakari instalasi militer, gudang-gudang beras, tangki tangki minyak Pokoknya semua dibumihanguskan. Baliku yang tercinta menjadi lautan api.
Akhirnya kusadari bahwa aku harus pergi dari situ. Pertama tama aku harus minta diri dulu pada Raja, walau saat itu sudah sulit ke puri. Wayan menawarkan diri untuk mengantar naik mobil. Tetapi aku tidak ingin Ia mengambil risiko untukku. Aku sebetulnya bisa saja menyetir mobil sendiri. Tetapi aku memilih berjalan kaki lewat jalan belakang, menyusur bukit dan anak sungal, karena kurasa itu lebih aman. Perjalanan itu jauh dan daerah yang kulewati sukar dirintis. Tetapi aku berhasil, Sebentar-sebentar aku berhenti untuk melepaskan lelah, sambil menoleh ke belakang. Kupandang kemusnahan yang saat itu kujauhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AventuraSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...