Selku yang baru dalam penjara Kalisosok di Surabaya bentuknya hampir bujur sangkar. Panjang masing- masing sisinya sekitar enam langkah. Dindingnya tinggi dilabur putih, sedang lantainya dari batu bata. Antara dinding dan langit-langit ada bagian terbuka yang diberi berterali. Dari situlah masuk hawa segar saat-saat panas terik siang hari.
Pada satu dinding terdapat pintu berterali serta jendela kecil yang menghadap ke sebuah pekarangan sempit, yang ukurannya tidak jauh lebih besar daripada sel tempatku terkurung. Pekarangan itu dikelilingi tembok yang sangat tinggi. Bagian atasnya tertutup terali. Pada salah satu temboknya ada pintu. Di baliknya terdapat halaman dalam penjara yang sebenarnya. Di satu sudut pekarangan sempit itu terdapat sebuah tong terbuat dari semen, berisi air yang sudah berlumut dan merupakan sarang nyamuk. Air yang ada di situ baunya bukan main, sehingga segan rasanya mencuci muka dengannya. Tetapi pilihan lain tidak ada.
Setiap hari aku diijinkan keluar dari selku selama sepuluh menit. Saat-saat selingan di pekarangan sempit sangat menyenangkan bagiku. Aku bisa mengamat-amati langit biru, serta memperhatikan pohon-pohon jarak yang tinggi terayun lembut dipermainkan angin.
Sementara itu yang ada dalam selku hanya selembar tikar untuk alas tidur, lalu sebuah keranjang dan sebuah sapu. Di situ juga terdapat jamban yang berwujud lubang di lantai, serta sebuah tong kecil berisi air pembersih. Jamban kadang-kadang tak tertahankan baunya. Malam hari kecoak berkerubung keluar dari situ. Mula-mula aku ngeri terhadap binatang-binatang itu, tetapi kemudian beralih menjadi teman pengusir sepi. Cecak yang berkeliaran di dinding mempesona diriku.
Lebih dari dua tahun lamanya aku terkurung sendiri dalam sel itu. Aku boleh dibilang tak pernah melihat orang lain, kecuali seorang babu yang biasa datang dua kali sehari, membawakan nasi sepiring serta secangkir cairan yang dikatakan kopi.
Kesendirian yang bagi tawanan lainnya mungkin dirasakan sangat menyiksa, bagiku malah merupakan idam-idaman. Dalam kesendirian itu aku bisa menemukan ketenangan, yang didambakan jiwaku yang tersiksa. Saat itu aku membenci seluruh umat manusia. Tubuhku terlalu menderita, sehingga tidak lagi terganggu oleh kesepian.
Bagiku kesepian yang kurasakan merupakan rahmat bahwa aku takkan dipanggil lagi untuk diperiksa Kempetai, setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Aku tidak lagi harus mendengar teriakan kesakitan yang datang dari arah ruang penyiksaan. Aku takkan lagi menjadi saksi bisu, betapa seseorang ditendangi sampai mati. Aku takkan lagi hanya bisa menatap tanpa daya, sementara tahanan demi tahanan terkapar mati di depan hidungku. Aku mengucap syukur bahwa aku dimasukkan ke dalam sel yang terpisah, bukan dijebloskan dalam kamp tawanan bersama wanita- wanita Belanda. Kalau itu yang terjadi, kuduga aku pasti akan edan.
Minggu-minggu pertama kurasakan berat sekali. Bukan karena kesepian, melainkan karena berbagai bunyi yang menyiksa syaraf. Bunyi-bunyian itu kebanyakan datang dari bengkel penjara. Bunyi peluit, sirene, mesin-mesin giling, lonceng yang berdentang-dentang, gergaji yang sedang membelah papan untuk dijadikan perabot, serta bunyi air yang menetes dari tong yang ada di pekarangan selku.
Tetapi seolah-olah ada suara berbisik dalam hatiku; "Jangan panik karena segala bunyi itu. Jangan kaulawan! Perhatikanlah dengan seksama, nanti akan kausadari bahwa tidak satu pun bunyi yang kedengarannya sama seperti yang lain. Dengarkanlah baik-baik dan kau akan mendengar musik."
Kupasang telingaku, kurenungkan dengan khusyuk. Apabila ada waktu untuk memusatkan perhatian, maka akan tampil berbagai makna yang sebelumnya tersembunyi. Dalam kasusku, melodi yang gaib. Kebisingan bengkel, di telingaku menjelma menjadi semacam simfoni alam. Kalau bisa aku memberinya judul Azab Kemanusiaan: suatu gita penjara yang suram, dengan selingan ringan malam hari berupa suara-suara cecak, katak, desingan nyamuk dan kicauan burung malam. Aku tidak memiliki pinsil atau kertas yang bisa kupakai mencatat musik itu. Tetapi masih tetap terngiang di telingaku nada-nada aneh dan sendu yang mengiringi kehidupanku yang terasing waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...