Aku dan Nura hanya menunggu kedatangan mobilku yang disusulkan dengan perahu dari Gilimanuk. Begitu kendaraan itu tiba, kami langsung berangkat menuju Surabaya. Kami mengambil jalan kampung, menghindari jalur-jalur lalu lintas utama. Saat itu kami sama sekali tidak bisa memperoleh keterangan, apakah Jepang sudah mendarat di Jawa. Kami bahkan belum tahu, apakah Surabaya sudah diduduki. Kami senantiasa gelisah, jangan-jangan ada cegatan Jepang di balik tikungan berikut. Tetapi yang kami khawatirkan itu tidak terjadi. Kami tidak mengalami kesulitan apa-apa.
Surabaya kami temukan dalam keadaan kacau- balau. Jalan-jalan menuju luar kota, begitu pula kereta-kereta api yang bisa kami lihat dari jalan raya, semuanya penuh sesak dengan serdadu Belanda. Kami segera memperoleh keterangan bahwa mereka itu berusaha hendak pergi ke markas besar militer di Bandung.
Surabaya sudah beberapa kali kena bom. Ribuan penduduk yang ketakutan berduyun-duyun menyelamatkan diri, mengungsi ke desa-desa daerah pedalaman. Kata orang, kota-kota utama di Sumatra dan Borneo sudah dikuasai Jepang. Balikpapan, Sabang, Medan, Palembang. Mereka belum mendarat di Jawa. Tetapi melihat gejalanya, tak lama lagi itu pasti akan terjadi.
Agung Nura merasa cemas. Bukan mengenai dirinya sendiri, tetapi mengingat diriku. Tak ada alasan bagi Jepang untuk memusuhi orang Bali. Tetapi aku dengan warna kulitku yang putih, dan terlebih-lebih lagi kebangsaan Amerika-ku, mungkin akan menjadikan diriku bulan-bulanan perlakuarı kasar nanti. Nura lantas mengambil keputusan untuk berangkat ke Solo. la hendak menyelidiki, apakah ada kemungkinan bagiku untuk bersembunyi di keraton sana.
Aku ditinggal di Oranje Hotel, hotel yang terkemuka di Surabaya. Di situ keadaanku nyaman untuk sementara, tetapi tidak tenang. Teman-teman sehotel kebanyakan wanita Jerman, serta orang-orang Belanda yang karena salah satu alasan masih belum bisa mengungsi.
Konsulat Amerika sudah ditutup. Personelnya sudah diungsikan. Tetapi suatu komisi militer Amerika masih ditempatkan di sini. Aku menawarkan diri untuk membantu di situ, sambil menunggu Nura kembali. Saat itu tenaga kerja tidak gampang bisa diperoleh. Tahu-tahu muncul seorang wanita yang bisa berbahasa Melayu, bisa menyetir mobil dan mengenal kota Surabaya. Dengan segera aku diterima.
Aku dijadikan supir dan juru bahasa seorang kolonel, yang oleh rakyat Surabaya dijuluki Yankee Cekakakan, karena kebiasaannya tertawa terbahak- bahak. Kolonel itu berhasil membesarkan hati penduduk yang ketakutan, dengan penolakannya untuk ikut bersembunyi dalam lubang perlindungan apabila ada serangan udara.
"Bidikan setan-setan kuning itu payah. Bahkan sisi lumbung Ratu Wilhelmina pun takkan bisa mereka kenai," serunya mencemooh.
Rakyat mengagumi semangatnya. Ke mana pun ia pergi, selalu ada yang mengikuti.
"Orang-orang Nippon pasti takkan mau membom hotel ini," kata kolonel itu dengan bijak. "Mereka akan membiarkannya utuh, supaya bisa ditempati nanti."
Karenanya, setiap kali ada serangan udara, kami lantas selalu bergegas-gegas naik ke atas atap hotel bersama kolonel itu, yang menyandang kamera filmnya. Sementara ia merekam ledakan-ledakan bom serta setiap pesawat yang kelihatan, aku bertugas menuangkan wiski soda untuknya. Kolonel itu tukang minum!
Dari orang Amerika berhati tabah itu aku belajar untuk bersikap ulet, bersikap tawakal menghadapi bahaya yang mengancam.
"Jangan takut, Tantri," katanya. "Jika memang sudah nasibmu mati kena bom Jepang, di mana pun kau bersembunyi, bom itu pasti akan menemukanmu."
Beberapa hari kemudian ada bom tepat mengenai sebuah lubang perlindungan. Semua yang bersembunyi di dalamnya tewas.
"Nah-apa kataku?" kata kolonel itu.
Sejak itu aku tidak lagi mau repot-repot memikirkan keselamatan diriku.
Tugas-tugas kolonel itu terutama berhubungan dengan dua buah kapal Amerika bercat hitam yang berlabuh di dok Surabaya. Padaku ia mengatakan bahwa kedua kapal itu penuh dengan muatan makanan, mesiu dan obat kina. Kapal-kapal itu sudah siap untuk diberangkatkan ke suatu tempat yang dirahasiakan di salah satu Kepulauan Pasifik, di mana muatannya akan disimpan sampai saat diperlukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...