Aku tidak kaget lagi melihat wajah wajah para petugas imigrasi dan CID yang sudah kukenal ketika kapal yang kutumpangi sampai di Singapura.
"Wah, wah-lagi-lagi Surabaya Sue," kata mereka menyambutku. "Ini seperti dulu saja lagi. Selamat datang jika surat-surat Anda beres sekali ini. Anda tentunya punya visa, kan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Anda tentunya juga membaca koran mengenai Surabaya Sue serta pertikaiannya dengan pihak berwajib. Tetapi kalau surat keterangan yang Anda berikan ketika aku pertama kali datang di Singapura, itu masih ada padaku."
"Itu kan hanya untuk kedatangan Anda yang pertama kali kemari," kata salah satu petugas itu. "Sedang ini yang ketiga kalinya. Kenapa Anda sampai mengira bisa seenaknya saja keluar-masuk tanpa surat-surat yang diperlukan?"
"Anda kan tahu sendiri, aku begini bukan karena kemauanku sendiri," tukasku. "Aku dipojokkan ke dalam situasi ini. Bukan salahku bahwa aku tidak punya paspor."
"Ya, ya kami tahu," kata petugas itu. "Tetapi lama-kelamaan Anda merepotkan bagi kami. Belanda sudah memprotes, kata mereka kami membantu salah satu musuh keras mereka, hanya karena Anda kelahiran Inggris. Sekarang apa yang harus kami lakukan dengan Anda?"
"Sejak kapan orang Inggris bisa digertak Belanda?" tanyaku. "Aku sudah berani mengambil risiko besar dengan kedatanganku kembali kemari, karena aku mempercayakan diriku pada toleransi dan sikap satria pejabat-pejabat Inggris. Di negeri Asia mana lagi seorang wanita Skot bisa masuk tanpa paspor? Jika Anda menganggap diriku ini orang yang tak berkewarganegaraan, setidak-tidaknya sepatutnya Anda memberiku suatu dokumen yang isinya menyatakan demikian. Dengan begitu aku akan bisa memperoleh visa, setidak-tidaknya untuk memasuki Singapura."
"Lalu kenapa Anda tidak mengajukan permohonan yang begitu?"
"Karena aku bukan orang tak berkewarganegaraan. Aku berhak memperoleh paspor Amerika."
"Apa yang harus kami lakukan dengan Anda sekarang?" tanya petugas itu sekali lagi.
"Kuharap Anda mau mengijinkan aku turun ke darat dan tinggal untuk sementara di Singapura, sampai semua urusanku sudah beres dan aku sudah memperoleh paspor yang dijanjikan padaku."
"Anda benar-benar mengharapkan kami mau menutup mata untuk ketiga kalinya?"
"Mungkin nanti bahkan untuk keempat kalinya;" kataku. "Bayangkan bagaimana reaksi orang nanti di Skotlandia, apabila membaca kepala-kepala berita seperti begini: 'Wanita Skot tidak diijinkan masuk oleh Inggris yang kejam!' atau 'Bekas tawanan Jepang disiksa teman-teman sebangsanya sendiri'. Pasti akan terjadi kerusuhan di kalangan orang Skot, yang memang sudah ingin membebaskan diri dari Inggris!"
Para petugas itu tertawa.
"Benar juga kata Anda," kata seorang dari mereka. "Kelihatannya Anda menang lagi sekali ini."
Dan dengan begitu, aku sudah masuk lagi di Singapura.
Banyak sekali yang terjadi di kota itu, selama berbulan-bulan aku berada di Australia. Kebanyakan teman Indonesiaku di situ sudah dipanggil pulang ke Jawa, karena keadaan yang bertambah gawat di Indonesia. Bahkan Kolonel X pun sudah pergi. Rumahnya kosong.
Kabar-kabar yang datang dari Jawa, tidak menggembirakan. Persetujuan Linggarjati gagal total, seperti memang sudah diniatkan Belanda. Perdana Menteri Sutan Syahrir sudah meletakkan jabatan, karena tidak mendapat dukungan lagi. Bahkan partai sosialisnya sendiri mempersalahkan dirinya terlalu banyak mengalah pada Belanda. Bung Amir menggantikannya menjadi perdana menteri, merangkap kedudukannya yang lama selaku menteri pertahanan.
Belanda melancarkan apa yang mereka sebut 'Aksi Polisionil', yang sebenarnya merupakan agresi besar-besaran yang direncanakan dengan matang. Setelah berhasil merebut sejumlah besar kota dan desa yang sebelumnya merupakan daerah Republik, mereka kemudian maju mendekati Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia. Dengan sombong mereka mengatakan bahwa kemenangan terakhir tinggal tiga atau empat minggu lagi. Tetapi kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan agar diadakan gencatan senjata.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AdventureSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...