DENPASAR

17 2 0
                                    

Kupu-kupu beraneka warna menyambut kedatanganku di Bali, menari dan bercanda mengelilingi mobilku yang meluncur pelan menyusur jalan dalam hutan dari Gilimanuk menuju ke Denpasar. Kupu-kupu itu bagaikan taburan kertas berwarna-warni mengikut mobilku, mengambang mundur maju, tetapi tidak pernah mencecah tanah. Mereka mengiringi perjalananku dengan riang gembira. Sambutan itu menyenangkan hati. Semangatku bangkit melihat sayap-sayap yang berhamburan berwarna cerah Akhirnya aku merasa bebas untuk hidup bebas dar bersahaja, bebas untuk mencari kedamaian.

Jalan dari Gilimanuk memasuki hutan yang lebat dan gelap. Bunyi-bunyi rimba seakan-akan musik di telingaku. Jauh sekali aku menyetir mobil dan banyak sekali jembatan ringkih dan sempit kulalui, sebelum aku bisa melihat pria dan wanita bertubuh kecil langsing serta berkulit keemasan. Mereka itulah orang Bali. Tingkah laku dan cara mereka berpakaian jauh berbeda dari tetangga mereka di Jawa. Yang paling menyolok bagi pendatang baru ialah kebiasaan kaun wanita di situ untuk bertelanjang dada.

Aku melihat mereka di mana-mana. Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal, sementara mereka berjalan beriringan satu-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala.

Sebagian besar dari perjalananku menuju Den Pasar mengikuti pinggiran kali yang berkelok-kelok. Sering kali kulihat manusia pribumi sedang mandi, mencuci kerbau, atau melakukan salah satu hajat manusiawi. Semua di kali yang itu-itu juga. Tetapi selalu tanpa melupakan kesopanan. Kaum wanita merendam diri mereka dulu sampai ke pinggang, sebelum sarung di lepaskan. Sedang kaum pria tidak pernah memamerkan tubuh seutuhnya.

Keindahan Bali yang kuno hadir terus, hampir sampai ke batas kota Den Pasar. Kemudian lenyap. Bahkan orang-orang yang kulihat pun seakan-akan berubah. Pura seindah lukisan, atap rumput dan tembok-tembok batu berukir dari desa-desa menghilang, digantikan toko-toko Cina dan Arab yang lusuh serta rumah-rumah Belanda berderet-deret. Rapi, menjemukan, kaku. Satu dengan yang lainnya tanpa beda.

Aku mendaftarkan diri sebagai tamu di Bali Hotel milik orang Belanda. Kini aku bisa mandi dan berganti pakaian, mengenakan gaun. Kujumpai ruang duduk dan kamar makan penuh dengan manusia berkulit putih, sehingga tidak sukar bagiku untuk membayangkan bahwa aku sudah ada lagi di Hollywood. Orang-orang di situ kebanyakan bangsa Belanda jenis pejabat kolonial, ditambah segelintir turis Amerika. Aku tidak melihat ada tamu hotel orang pribumi. Yang nampak hanya pelayan-pelayan pribumi.

Pada saat makan aku duduk seorang diri, tanpa ada yang mengacuhkan. Orang Belanda kelihatannya tidak bisa dibilang ramah terhadap orang yang tak dikenal.

Tapi keesokan malamnya seorang pria muda berambut jagung dengan mata biru yang menatap dingin, datang memperkenalkan diri. Ia asisten kontrolir distrik Denpasar. Orangnya ganteng, walau nampak kikuk dengan seragam putih-putihnya yang berkerah kaku karena kanji serta epolet berbenang emas di bahunya.

"Anda kan orang asing di sini?" tanyanya ramah sambil duduk.

Aku mengangguk. Ia mengobrol sebentar tentang keindahan alam dan cuaca.

"Setelah tiba di Bali berapa lama anda akan tinggal?"

"Belum tahu," jawabku. "Tergantung suasananya, mungkin akan cukup lama."

"Anda tahu bahwa ada sejumlah formalitas yang diminta oleh pemerintah Belanda dari orang-orang asing yang ingin tinggal lebih dari beberapa minggu di sini?"

"Belanda!" seruku. "Ini kan Bali!"

"Ini bukan Bali, melainkan Holland dalam ukuran kecil, di mana setiap orang termasuk Anda wajib mematuhi undang-undang Belanda. Bali merupakan bagian dari daerah jajahan kerajaan Belanda. Mungkin saja Anda tidak tahu. Pertama-tama, jika Anda ingin tinggal lebih dari enam bulan di sini, Anda harus membayar pajak sebesar seratus lima puluh gulden."

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang