PITO MEMBAWA BERITA

3 1 0
                                    

Pagi-pagi buta pintu kamarku diketuk orang. Saat itu pukul setengah lima dinihari. Aku tahu waktunya dengan pasti, karena menengok arlojiku. Ternyata yang datang itu seorang pelayan hotel. Ia memberitahukan bahwa ada seorang perwira muda yang ingin bicara dengan segera. Perwira itu tidak mau menyebut namanya.

Aku sudah berpengalaman hidup di Indonesia. Jadi sudah tidak gampang kaget lagi menghadapi tindakan di luar kelaziman. Orang Indonesia menganut tata pergaulan mereka sendiri. Jika ada urusan yang benar-benar penting, mereka tidak mengenal waktu.

Kuminta pelayan itu menyilakan perwira itu datang ke beranda kamarku serta menghidangkan kopi. Setelah itu aku cepat-cepat berdandan, lalu pergi ke luar untuk menyambut tamuku. Perwira itu duduk membelakangi pintu, sehingga tidak melihat aku keluar.

"Selamat pagi, Saudara," sapaku.

Perwira itu bangkit dengan segera, lalu berpaling.

"Pito!" seruku terheran-heran. "Kau sudah kembali dari Bali. Syukur alhamdulillah, kau selamat!"

Saat itu juga aku tertegun. Dari air mukanya kulihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres. la kelihatannya capek sekali. Keningnya dikernyitkan, seperti sedang kesakitan.

"Kau sakit, Pito?" tanyaku. "Duduklah dulu, dan ceritakan segala-galanya."

Pito duduk, lalu menutupi muka dengan kedua belah tangannya. Ia menangis.

Tiba-tiba hatiku terasa seperti dicengkam kebekuan. Aku mendapat firasat buruk. Tetapi aku tetap membisu, tidak berani mengatakan apa-apa.

Akhirnya Pito menatapku. Sinar matanya kuyu. Sementara aku memandangnya, kurasakan mukaku menjadi pucat tak berdarah. Dengan tiba-tiba saja aku tahu apa yang hendak diberitakannya padaku.

"Katakanlah, Pito kurasa aku sudah tahu. Tentang Anak Agung Nura, kan?"

"Ya," katanya dengan suara nyaris tak terdengar. "la meninggal dunia, K'tut."

Tiba-tiba kurasa diriku sudah tidak lagi berada di dunia ini, pindah ke alam lain yang gelap-gulita. Terbayang dalam ingatanku wajah yang kusayangi, tersenyum padaku dengan pandangan penuh rahasia. Aku merasa seolah-olah lumpuh. Bahkan menangis pun tidak bisa.

Setelah beberapa saat, barulah aku bisa membuka mulut lagi. Kutanyakan kejadiannya pada Pito.

"la ditembak gerombolan pengacau."

"Maksudmu orang Belanda?" tanyaku. "Berandal-berandal Belanda di Bali?"

"Bukan, bukan Belanda tapi bangsanya sendiri."

"Mustahil!" seruku. "Aku tidak bisa percaya. Tidak mungkin. la kan dicintai rakyatnya."

Pito menceritakan seluruh kisah kejadiannya. Rumah Anak Agung Nura di pegunungan didatangi segerombolan pemuda fanatik. Mereka menggedor-gedor pintu, membangunkannya. Mereka mengatakan ada urusan penting yang perlu disampaikan padanya. Nura samasekali tidak merasa curiga. Ia membukakan pintu. Tetapi begitu pintu terbuka, ia langsung ditembak tanpa sempat mengatakan apa-apa lagi. Para pembunuhnya lari dengan mobil yang menunggu di jalan raya. Mereka diduga menuju Negara, karena mobil mereka ditemukan dalam keadaan kosong di dekat Jembrana.

"Kabar yang tersiar mengenai kejadian itu bersimpang-siur," kata Pito. "Ada yang mengatakan, itu perbuatan kaki-tangan Belanda. Tetapi kami merasa kabar itu tidak benar. Pembunuhan itu dilakukan oleh anggota laskar fanatik yang main hakim sendiri. Kau kan tahu juga, Anak Agung Nura selalu bersikap menentang setiap tindakan kekerasan. la tidak menyukai pembalasan membabi-buta, tidak ingin utang darah dibayar dengan darah. Ia tidak bisa memaafkan tindakan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk sipil, juga apabila yang terbunuh itu orang Belanda. Bagi rakyat jelata yang sangat menderita di bawah kekuasaan Belanda, hanya ada satu kemungkinan penafsiran atas sikapnya itu. Mereka menganggap Anak Agung Nura bekerja sama dengan bangsa kulit putih, atau setidak-tidaknya pro Belanda."

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang