ANAK KEEMPAT

9 1 0
                                    

Aku tidak boleh menimbulkan kemurkaan Dewata. Uluran tangan Raja harus kusambut. Aku harus tinggal di purinya, selaku anaknya. Tawaran itu kuterima dengan ucapan terima kasih berkali-kali.

Dengan segera aku dibawa Raja serta putranya ke bagian lain dari pekarangan puri itu, di mana aku secara resmi diperkenalkan pada istrinya yang pertama. Wanita itu baik hati, tetapi sangat pemalu. la ditemani dua orang putrinya. Dua gadis belasan tahun yang manis-manis. Keduanya belum menikah dan sama pemalunya seperti ibu mereka.

Senyum lebar menghiasi wajah Raja tidak perlu diterjemahkan lagi. Tetapi penuturannya senantiasa dialihbasakan oleh putra tunggalnya, Anak Agung Nura.

"Sekarang aku mempunyai seorang putra dan tiga orang putri."

Gaya bicara laki-laki tua itu begitu riang sehingga aku cenderung beranggapan bahwa ia hanya berkelakar.

Tetapi kemudian suaranya menjadi serius. "Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil pedanda Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu."

Sebulan kemudian aku memainkan peran utama dalam suatu upacara pemberian nama, pada saat mana aku diberi nama K'tut Tantri. Nama itu tetap kupakai sampai sekarang.

Jika saat itu aku sudah tahu bagaimana nasibku kemudian, mungkin aku minggat dari Bali selama masih ada waktu untuk melakukannya. Tetapi sama sekali tidak ada firasat dalam kalbuku. Saat itu segala-galanya terasa riang dan membahagiakan.

Tetapi ada juga sebenarnya yang mengganggu perasaanku. Aku risi melihat para pelayan tersuruk- suruk di lantai pada saat melayani aku, serta langsung duduk berlutut apabila aku lewat. Berulang kali aku berdebat sengit dengan Raja mengenai soal-soal itu, sementara Anak Agung Nura mendengarkan saja dengan geli.

Hari pertama kehadiranku di puri, setelah menyambut kedatanganku serta memperkenalkan aku pada keluarganya, Raja kemudian menarik diri karena masih harus menjamu tamu-tamu tertentu. Aku diajak putranya ke pekarangan lain, ke sebuah bungalow kecil dengan pinta-pintu yang terbuat dari kayu penuh ukiran berbelit-belit, dan balok-balok pendukung atap bersepuh emas.

"Inilah tempat tinggal untukmu," katanya sambil lalu.

Sementara aku mengagumi keindahan ukiran, ia menjelaskan bahwa semuanya itu dibuat oleh ayahnya seorang diri. "Kami dari generasi muda sudah tidak bisa lagi membuat karya yang begini rumit."

Ketika pintu dibuka, aku semakin tercengang melihat kehebatan ruangan sebelah dalamnya. Kulihat sebuah ranjang besar dengan langit-langit dari kain sutra. Segala perabotan lainnya disesuaikan dengannya.

Langit-langit ruangan ditunjang balok- balok yang penuh dengan ukiran sosok-sosok kecil berwujud dewa yang disepuh berwarna emas dan digosok dengan warna merah dan biru.

Pada dinding ruangan itu, begitu pula pada dinding beranda terpasang lukisan-lukisan yang menggambarkan ke hidupan dewa-dewa.

Dinding kamar mandi berukuran besar yang dicat putih merupakan latar belakang gambar-gambar adegan, yang kemudian kuketahui dipetik dari kisah Ramayana. Kesan keseluruhannya luar biasa.

Setelah itu kami ke luar, pergi ke jalan. Anak Agung Nura geli sekali ketika melihat mobilku yang penuh debu, dengan barang-barang yang masih memenuhinya dalam keadaan terikat. Pangeran itu tidak sepenuhnya pulih dari kekagetannya, ketika mendengar bahwa aku naik mobil seorang diri dan Batavia yang jauh.

Sementara para pelayan sibuk menurunkan barang barang, Anak Agung Nura memperhatikan peralatan lukisku.

"Melukis merupakan satu-satunya kegemaranku," katanya padaku. "Tapi aku tidak bisa melukis dengan gaya Bali yang tradisional. Aku melukis dengan gayak sendiri. Oh ya, kau takkan bisa melukis di kamarmu. Cahaya di situ kurang terang. Aku harus mengusaha kan studio untukmu. Yuk, kurasa aku tahu tempat yang baik. "

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang