KEMBALI KE JAWA

4 1 0
                                    

Kini datang pengalamanku yang paling luar biasa. Dari awal, aku berangkat meninggalkan Indonesia dengan niat takkan kembali sebelum Indonesia sudah sepenuhnya mencapai kemerdekaannya, atau apabila perjalanan sudah tidak begitu berbahaya lagi. Aku sebenarnya bermaksud hendak terus ke Australia dan Amerika. Tetapi rencanaku itu gagal. Aku tersangkut di Singapura dan kehabisan dana. Aku sudah mengajukan permohonan pada konsulat Amerika Serikat di kota itu untuk menerbitkan paspor Amerika. Tetapi berminggu-minggu berlalu tanpa ada jawaban.

Akhirnya aku nekat. Aku menghadap Komisaris Tinggi Australia, untuk minta ijin masuk ke Australia tanpa paspor. Kuceritakan kisahku dari awal sampai akhir padanya, tanpa menutup-nutupi apapun. Komisaris Tinggi, Mr. Massey, dengan sikap simpatik mendengarkan ceritaku sampai habis. Ia berjanji akan meneruskan permohonanku pada pihak yang berwenang di Canberra. Jadi kini aku menunggu keputusan dari dua pemerintahan. Amerika Serikat dan Australia.

Selama itu aku masih tetap tinggal di rumah Kolonel X. Suatu malam, ketika aku sedang mengikuti siaran warta berita dari pemancar BBC London, pelayan masuk untuk mengatakan bahwa ada tamu yang kelihatannya orang asing. Bagiku tidak begitu jelas apa yang dimaksudkannya dengan pengertian orang asing di Singapura yang begitu kosmopolitan. Tetapi menurut dugaanku, maksudnya tamu itu bukan orang Cina, Melayu atau Indonesia. Yang jelas tidak lumrah ada tamu berkunjung selarut itu. Keingintahuanku timbul.

Aku masuk ke ruang tamu untuk menjumpai tamu itu. Orangnya kelihatan terhormat. Berkulit agak gelap, berhidung mancung dan bengkok seperti paruh betet. la memperkenalkan dirinya dengan nama Abdul Monem, bekas konsul jendral Mesir di India, tetapi saat itu datang sebagai utusan Raja Farouk dari Mesir dan mewakili tujuh negara Liga Arab. Mr. Monem menunjukkan surat-surat kepercayaannya.

"Pemerintah Mesir dan Liga Arab mengutus saya ke Indonesia, untuk menyampaikan pengakuan resmi terhadap negara baru yang berdaulat itu," katanya. "Konsulat Belanda di sini menganggap sepi surat-surat kepercayaan saya dan menolak untuk memberikan visa. Inggris tidak mau membantu. Mereka malah tidak akan memberi ijin keluar dari Singapura, apabila itu hendak dipakai untuk pergi ke Indonesia."

la menambahkan bahwa sikap Inggris itu mulanya mengherankan baginya. Tetapi kemudian ia sadar bahwa Inggris tidak menghendaki kedaulatan Indonesia diakui, mengingat situasi mereka di semenanjung Malaya. Mereka sendiri juga menghadapi masalah kolonial yang perlu dipertimbangkan.

Aku mengangguk, tanda mengerti.

"Tetapi kenapa Anda kini mendatangi saya, Mr. Monem?" tanyaku.

"Saya mendapat kabar bahwa Anda pernah berlayar dari Jawa ke Singapura, menembus blokade Belanda," jawabnya. "Saya ingin tahu apakah bagi saya bisa diselenggarakan perjalanan yang sama, dengan arah sebaliknya. Saya perlu sekali datang ke Yogyakarta dan kini saya harus melakukannya tanpa sepengetahuan Inggris atau Belanda."

Kujelaskan padanya bahwa aku telah menembus blokade dengan bantuan pihak Indonesia yang mengatur perencanaannya, tidak bisa disamakan dengan pelayaran ke arah sebaliknya tanpa kerja sama pihak Inggris. Indonesia tidak memiliki kapal-kapal sendiri di Singapura. Dan kalaupun ada, tanpa surat-surat ijin yang diperlukan maka kapal takkan bisa meninggalkan pelabuhan yang ketat sekali penjagaannya.

"Anda sendiri, bagaimana Anda bisa memasuki Singapura?" tanya Mr. Monem. "Sulitkah itu?"

"Saya naik kapal yang berawak orang Indonesia," kataku. "Kapal itu berlabuh di luar batas tiga mil, lalu dengan bantuan teman saya pergi ke darat dengan naik sampan."

"Tidak mungkinkah saya menumpang kapal milik Cina? Saya pernah mendengar bahwa ada kapal-kapal mereka yang berlayar ke Indonesia, menembus blokade."

"Mr. Monem," kataku, "kapal-kapal Cina yang menembus blokade itu tidak berangkat dari Singapura. Mereka beroperasi dari berbagai pelabuhan kecil sepanjang pesisir selat Malaka, atau dari Bangkok atau Saigon. Tetapi akhir-akhir ini Cina-Cina itu begitu banyak kehilangan kapal, sehingga mereka merasa ngeri. Jika Anda berhasil menemukan sebuah yang mau membawa Anda, keselamatan Anda akan terancam. Belanda bersikap tak kenal ampun pada kapal-kapal Cina yang berusaha menembus blokade mereka."

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang