Suara yang berbicara lewat sambungan telepon itu sengau. Kedengarannya seperti suara orang Belanda. Orang itu memperkenalkan dirinya. Ia memang orang Belanda.
"Saya ingin bicara dengan Anda mengenai suatu urusan penting," katanya.
Mungkinkah di Sydney ada orang Belanda yang telah sadar, dan ingin membantu perjuangan Indonesia? Kemungkinan itu kecil sekali. Walau begitu ia kuundang untuk berbincang-bincang di tempat tinggalku.
Aku langsung mengenalinya, begitu ia melangkahkan kaki memasuki apartemenku. Seorang kolonialis reaksioner yang khas. Sombong, angkuh dan kasar. la memperkenalkan diri dengan sikap dingin. Terasa jelas bahwa ia menganggap dirinya menurunkan martabat Belanda, karena mau mendatangi musuh bangsanya. la tidak mau membuang-buang waktu dengan berbasa-basi.
"Aku mewakili sekelompok pengusaha yang pernah tinggal di Jawa," katanya. "Kami bersedia membayar seratus ribu gulden, apabila Anda mau dengan segera pergi dari Australia ke Amerika atau Inggris, dan tidak ikut-ikut lagi dalam urusan Indonesia."
Aku hanya menatapnya saja.
"Indonesia sama-sekali bukan urusan Anda," sambungnya. "Anda orang asing. Dengan uang seratus ribu gulden, Anda akan bisa hidup senang seumur hidup, atau Anda bisa juga memakainya sebagai modal untuk membangun hotel lagi di salah satu negara lain."
Aku masih tetap membungkam, sementara ia meneruskan ocehannya.
"Anda harus sadar bahwa Anda hanya diperalat saja oleh orang-orang Indonesia itu. Begitu mereka sudah merdeka, Anda pasti akan mereka lupakan. Kalau sudah begitu, bagaimana dengan Anda? Tetapi mereka takkan bisa memperoleh kemerdekaan yang mereka teriak-teriakkan. Sebentar lagi kami orang Belanda akan berkuasa lagi di sana. Anda boleh yakin bahwa kami takkan mengijinkan Anda tinggal di Indonesia nanti."
Akhirnya aku berhasil menguasai perasaanku.
"Rupanya besar sekali kepentingan kalian di Indonesia, sehingga mau mencoba taktik seperti ini," kataku mencemooh. "Rakyat Indonesia berjumlah tujuh puluh juta jiwa. Biarpun Anda serta konco-konco Anda bersedia menawarkan sejuta gulden untuk setiap orang Indonesia, aku masih tetap takkan bisa dibujuk untuk mengkhianati tanah air pilihanku itu. Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku kan hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan. Bertahun-tahun lamanya aku hidup di bawah kekuasaan penjajahan Belanda. Sedikit sekali kebajikan yang kualami waktu itu, sedang keburukan bertumpuk-tumpuk. Apa sebabnya orang Belanda di Holland berteriak marah ketika tentara Nazi melanda negeri itu dan merampasnya habis-habisan, tetapi kini setelah Sekutu membebaskan Holland mereka hendak melakukan tindakan yang serupa terhadap Indonesia? Tiga abad lamanya kekayaan Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Tidakkah kini sudah waktunya arus itu harus dikembalikan ke Indonesia setidak-tidaknya sebagian daripadanya?"
Lelaki Belanda itu menatapku dengan pandangan menghina.
"Aku tidak mengerti bagaimana kau, wanita kulit putih sampai bisa mau berjuang untuk suatu bangsa, yang takkan pernah bisa sederajat kedudukannya denganmu?" teriaknya. "Apa kesamaanmu dengan mereka? Apa jeleknya berkulit putih, sehingga kau lebih menyukai kulit sawo matang atau hitam?"
Aku menyodorkan topinya ke tangannya, lalu membukakan pintu.
"Anda orang Belanda, jadi tentunya beragama Kristen," tukasku. "Coba katakan, apakah warna kulit penciptamu? Belum pernahkah kau mendengar bahwa manusia itu semua sama? Mata hatiku ini sejak semula sudah selalu buta warna!"
Aku sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Begitu ia keluar, kubantingkan pintu keras-keras.
Air mataku berlinang-linang. Terbayang di mataku wajah-wajah ramah Bung Karno, serta kawan- kawanku Bung Amir, Pito dan para pejuang di Jawa Timur. Terngiang di telingaku suara mereka yang hangat, penuh kasih sayang serta rasa percaya pada diriku. Itulah hartaku yang sejati. Dibandingkan dengan mereka, seratus ribu perak uang Belanda sama sekali tak ada artinya.
Aku banyak menerima surat yang meminta jawaban. Surat-surat dari berbagai penjuru benua Australia. Di antaranya ada yang bernada menyerang, tetapi ada pula yang membesarkan hati.
Aku disarankan secara serius, untuk membuka biro informasi Indonesia di Sydney. Kalangan pengusaha menanyakan kemungkinan membuka hubungan perdagangan dengan Indonesia. Beberapa orang yang pernah membaca bahwa aku tidak memiliki paspor sehingga mengalami kesulitan dalam perjalanan, menulis surat yang isinya melamar diriku agar aku bisa menjadi warga negara Australia.
Di antara surat-surat yang banyak itu ada satu yang datang dari konsulat Amerika Serikat di Sydney. Isinya menyatakan bahwa Konsul Jendral telah diinstruksikan kementerian luar negeri di Washington agar mengeluarkan paspor Amerika untukku. Aku gembira sekali membaca berita itu.
Aku bergegas pergi ke kota, untuk mengambil dokumen yang sudah begitu lama kudambakan. Tetapi sampai di sana aku mendapat keterangan bahwa paspor itu hanya berlaku untuk mengadakan perjalanan dari Australia langsung ke Amerika. Konsul menyarankan agar aku naik kapal dari Sydney ke San Francisco.
Paspor itu ternyata diberikan dengan syarat-syarat tertentu. Aku menduga ada maksud-maksud politik di belakangnya.
"Saya tidak mungkin bisa langsung pulang dari sini," kataku. "Saya memiliki tiket kapal untuk kembali ke Singapura. Uang bekal saya tinggal sedikit, dan untuk bisa memperoleh uang untuk pulang ke Amerika saya harus kembali dulu ke Singapura. Dengan persyaratan yang Anda tentukan, saya takkan bisa menerima paspor itu."
"Saya tidak mengerti," kata Konsul. "Bagaimana mungkin Anda mengalami kesulitan uang. Kan Anda memiliki hotel di Bali. Anda punya rumah di Surabaya. Dan di sini Anda telah berhasil mengum- pulkan uang sejumlah besar, lewat Indonesian Medical Aid Society. Kenapa Anda mengatakan tidak punya uang?"
Untuk kesekian kalinya aku harus menjelaskan bahwa hotelku sudah tidak ada lagi karena dimusnah- kan Jepang. Sedang rumahku yang di Surabaya rusak semasa awal revolusi.
"Uang yang berhasil saya kumpulkan di Australia sini tujuannya untuk mengusahakan bantuan obat-obatan pada Indonesia. Saya sendiri tidak menerima apa-apa," kataku. "Bagi saya itu merupakan kerja bakti. Tidak ada satu pemerintahan pun Amerika, Jepang atau Indonesia baik itu yang memberi ganti rugi untuk hilangnya harta milik saya dalam masa perang."
Akhirnya Konsul mau juga menyetujui bahwa aku kembali dulu ke Singapura. Katanya ia akan menginstruksikan konsulat Amerika di kota itu agar memberikan paspor untuk pulang ke Amerika padaku. Kemudian kukatakan padanya bahwa aku tidak memiliki ijin untuk kembali memasuki Singapura. Yang kupunyai hanya surat keterangan yang diberi pihak Inggris di situ, ketika aku pertama kalinya datang dari Indonesia.
"Jika Anda bisa memberi saya sepucuk surat keterangan bahwa saya akan memperoleh paspor Amerika di Singapura, saya akan bisa menghadap perwakilan pemerintah Malaya di Sydney sini untuk meminta surat ijin memasuki Singapura."
Tetapi Konsul tidak mau memenuhi permintaanku itu. Sambil berpikir-pikir mencari jalan ke luar, aku meninggalkan kantornya. Aku ngeri ketika membayangkan naik ke kapal yang akan berangkat ke Singapura tanpa memiliki surat-surat yang diperlukan, dengan harapan tipis bahwa Inggris akan kembali bersikap murah hati seperti sebelumnya. Aku berharap, mudah-mudahan saja sekali itu semuanya berjalan beres.
Aku terbang dari Sydney ke Perth, untuk naik ke kapal yang akan berangkat menuju Singapura. Dalam surat kabar kubaca artikel yang mempertanyakan kemungkinan Inggris akan mengijinkan Surabaya Sue masuk lagi ke Singapura tanpa paspor. Artikel itu mempertanyakan apakah aku akan menjadi orang tanpa negara, yang akan terus berlayar pulang-balik antara Australia dan Singapura, tanpa pernah diijinkan mendarat di salah satu tempat. Kutabahkan hatiku, sementara dengan hati berat kuucapkan selamat tinggal pada benua Australia yang indah.
Aku masih sempat merasa puas ketika mendengar dari kawan-kawanku yang menyelenggarakan aksi bantuan obat-obatan untuk Indonesia, bahwa ketrampilanku berhasil mengumpulkan uang ribuan dollar untuk tujuan mulia itu. Dengannya bisa dibeli obat-obatan yang akan dengan segera dikirim ke Indonesia melalui Palang Merah Australia. Bagaimana dengan pendaratan ku di Singapura? Itu urusan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AbenteuerSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...