Rencanaku sederhana. Kuisi tangki bensin mobilku penuh penuh, lalu berangkat ke pedalaman. Terus saja, sampai bensin habis. Aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa di mana pun hal itu terjadi, di situ aku akan tinggal. Juga apabila itu berarti aku akan terpaksa menginap di sawah. Pokoknya, aku tidak akan kembali ke Bali Hotel.
Sambil menenangkan diriku sendiri bahwa dewa-dewa Bali tentu akan mengiringi aku dan bahwa aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan kejadian yang tidak bisa kupengaruhi, pagi-pagi sekali aku meninggalkan Denpasar, jauh lebih dini dari saat roda birokrasi mulai berputar. Sama sekali tak terlintas kemungkinan dalam benakku bahwa aku tidak bisa menemukan tempat tinggal.
Bali benar-benar mempesona. Desa-desa penuh ketenangan, penduduk yang senantiasa tersenyum, pemandangan dengan warna dan pola melimpah ruah. Isi tangkiku ternyata lebih banyak dari sangkaanku. Berjam-jam lamanya aku menyetir mobilku melalui desa-desa bersahaja, naik turun jalan pegunungan, melintasi sawah dan menerobos daerah hutan.
Aku berhenti sekali untuk makan beberapa potong roti yang kubawa dari hotel. Setelah itu sekali lagi di suatu tempat yang lebih tinggi di pegunungan. Aku mampir di sebuah warung pinggir jalan, di mana aku membeli air degan.
Akhirnya mobilku terbatuk-batuk sebentar, lalu berhenti meluncur. Saat itu aku berada di sebuah desa kuno yang indah, tinggi di atas daerah berbukit, di sisi luar tembok batu bata merah berukir-ukir, dengan gerbang tak berambang yang kedua sisinya dijaga empat patung dewa Bali yang terbuat dari batu. Di balik tembok batu bata itu nampak bangunan yang kelihatannya seperti pura misterius, terlindung di balik dedaunan rimbun.
Sambil tersenyum aku berkata dalam hati, "Pasti aku sudah ditakdirkan hidup bersama dewa-dewa dalam swargaloka."
Di sisi luar tembok ada pasar, di mana barang- barang diperjualbelikan wanita-wanita gunung yang setengah telanjang. Kulihat semangka, kelapa, berbagai jenis buah yang kelihatannya asing bagiku, alat-alat masak yang serba sederhana, serta berbagai macam tali pokoknya apa saja yang diperlukan rumah tangga di daerah tropis.
Dengan segera aku sudah dikerubungi penduduk setempat. Kelihatan menakutkan. Padahal mereka hanya ingin tahu.
Aku mendengar bunyi musik yang aneh bagi telingaku. Datangnya dari sebelah dalam tembok perkasa itu. Karena tahu bahwa orang Bali tidak berkeberatan jika ada orang asing memasuki pura, apabila itu dilakukan dengan menjaga sopan-santun, dengan langkah ragu aku memasuki pekarangan.
Apa yang kulihat saat itu, bagiku seakan-akan langsung dipetik dari kisah Seribu Satu Malam. Aku menyaksikan adegan yang tidak mungkin dapat dibayangkan jago-jago film Hollywood, bahkan dalam khayalan mereka yang paling melantur pun tidak. Aku tertegun sambil bertanya dalam hati, apakah aku saat itu sedang mengigau karena demam. Atau sedang terlena dalam dunia khayal.
Aku menjadi saksi suatu pesta dunia Timur yang bergelimang kemewahan. Genta-genta berdenting, sementara musik gamelan terdengar lirih, memperde ngarkan nada-nada kuno yang mempesona.
Para pedanda duduk bersila di atas panggung bambu yang tingginya sekitar dua meter dari tanah, dikeliling tumpukan buah tersusun rapi serta bunga dari dedaunan palem yang dibentuk serbaneka. Semuanya sesajen berbentuk fantastis, untuk para dewata.
Di belakang setiap pedanda duduk seorang perempuan yang menyodorkan bermacam-macam bunga yang diperlukan untuk memurnikan air suci.
Para pedanda bertelanjang dada. Untaian manik-manik beraneka warna melilit leher mereka. Mereka memakai tutup kepala yang tinggi berwarna merah darah, serta kain cawat berwarna putih dengan lilitan setagen dari bahan brokat yang nampak keperak-perakan. Tangan mereka yang anggun dengan kuku sepanjang lima belas sentimeter memegang genta-genta kencana yang didenting-dentingkan, sementara mereka menyuarakan mantera dan menyiapkan air suci untuk dipercikkan ke ubun-ubun orang-orang yang berlutut sambil berdoa di hadapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AventuraSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...