DALAM BAHAYA

3 1 0
                                    

Kehidupan sehari-hari selama waktu itu selalu dibayangi bahaya. Atas desakan Bung Amir yang menginginkan agar aku setiap saat mendapat pengawalan bersenjata, dua orang prajurit bertubuh kecil dengan senapan yang lebih panjang dari mereka sendiri selalu ikut ke mana pun aku pergi. Akhirnya aku tak tahan lagi, lalu kudatangi Bung Amir.

"Aku tidak khawatir akan dibunuh orang Indonesia," kataku. "Tetapi penjaga-penjaga itu membuat diriku gelisah. Bukan itu saja mereka juga menyebabkan aku menyolok mata. Secara psikologis, kurasa ini keliru."

Kuceritakan pada Bung Amir nasihat kolonel Amerika atasanku sewaktu terjadi pemboman Jepang terhadap Surabaya, "Jangan sekali-kali merasa takut. Jika ada bom yang sudah ditakdirkan akan mencabut nyawamu, bom itu akan mendatangi dirimu di mana pun kau bersembunyi."

Bung Amir tertawa.

"Kata kolonel itu benar," katanya. "Kami, orang Timur, bersikap tawakal. Nasib tidak bisa dielakkan."

Kedua penjagaku dicabut, dan aku bisa merasa wajar kembali.

Walau begitu terjadi juga beberapa insiden kecil. Suatu hari aku ditembak ketika sedang naik becak. Peluru mendesing di depan hidungku. Aku maupun pengemudi becak sama sekali tidak cedera. Tetapi kami ketakutan setengah mati.

Insiden berikut terjadi ketika aku sedang naik dokar di Yogya. Tiba-tiba datang sebuah mobil berisi dua orang lelaki. Mobil itu berusaha menubruk dokar yang kutumpangi ke samping. Mobil membentur sisi dokar yang langsung terguling. Aku dan kusir dokar terlempar ke parit, sementara mobil itu terus melaju. Aku langsung sadar bahwa itu bukan kecelakaan biasa. Untungnya aku tidak cedera. Tetapi kusir dokar yang malang itu retak tulang rusuknya, sehingga harus diangkut ke rumah sakit.

Mobil yang menabrak itu berhasil dengan cepat ditemukan. Saat itu di Yogya tidak banyak mobil milik pribadi. Dari pemeriksaan diketahui bahwa kedua lelaki yang hendak menubruk kami berasal dari Bandung. Mereka itu anggota komplotan wanita ningrat yang pernah mengajakku bersekongkol untuk menggulingkan Bung Karno.

Bahaya yang mengancam diriku sering sangat terselubung. Namun sepertinya aku selalu bernasib baik, seperti Bung Tomo.

Sekali aku pernah diundang seorang wanita yang kukenal baik untuk pergi ke Solo. Orangnya menarik. Berpendidikan Barat, penulis yang cekatan. Hubungan kami sangat baik, dan aku percaya seratus persen padanya.

"Dua tokoh penting akan mengadakan pertemuan politik yang dirahasiakan di sebuah desa pegunungan, di luar Solo," katanya padaku. "Kurasa Anda pasti menilai pertemuan itu menarik dan banyak mengandung hal-hal penting yang ingin Anda ketahui."

Aku langsung menerima ajakannya itu, lalu mengatur rencana untuk mengadakan siaran malam itu dari Solo, dan bukan dari Yogya. Kami itterencanakan berangkat pukul tiga siang dari Yogya. Sampai di Solo pukul lima, lalu istirahat di hotel sampai pukul delapan malam. Setelah itu baru berangkat ke gunung, untuk mendengar perundingan kawan-kawan wanita itu.

Sebelum meninggalkan Yogya aku menulis surat pada Bung Amir. Dalam surat itu kukatakan bahwa aku pergi ke Solo, dengan menjelaskan untuk apa. Ketika sampai di hotel tujuan kami di kota itu aku tercengang karena di situ aku sudah ditunggu seorang perwira tentara. Ia menyampaikan pesan mendesak agar aku menelepon menteri pertahanan. Jangan dari hotel itu, tetapi dari markas tentara. Aku minta permisi sebentar pada wanita kenalanku, lalu ikut dengan perwira yang menjemputku untuk menelepon Bung Amir.

"Untung kami masih sempat menghubungi sebelum Anda berangkat ke rapat itu," katanya.

Kujawab bahwa aku merasa tidak ada bahayanya bagiku untuk mendatangi rapat politik.

"Siapa bilang tidak berbahaya? Bahkan berbahaya sekali!" kata Bung Amir. "Anda harus kembali dengan segera ke Yogya. Aku sudah mengutus dua orang perwira untuk mengawal Anda kembali ke sana. Ada kemungkinan Anda akan diculik, atau bahkan dibunuh!"

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang