TERHINDAR DARI MAUT

3 1 0
                                    

Bangsa Indonesia bangkit dari tidur lelap tiga abad, dengan semangat berkobar-kobar, haus pengetahuan dan pendidikan. Siang-malam aku didatangi pemuda- pemuda yang memintaku agar mengajar mereka berbahasa Inggris. Tetapi waktu yang ada begitu sedikit. Di mana-mana pecah pertempuran sengit-di setiap desa dan kota yang diduduki Belanda dan Inggris.

Berulang kali Presiden Sukarno menyerukan pada Inggris agar menghentikan tindakan menyelundupkan pasukan-pasukan Belanda ke Indonesia. Tetapi seruannya tak diacuhkan sama-sekali. Ribuan anggota militer Belanda membanjir masuk. Patroli-patroli mereka yang asal tembak saja menyebabkan timbulnya insiden demi insiden. Akhirnya Sukarno terpaksa melarang orang Indonesia masih ada di jalan apabila hari sudah gelap, guna mencegah terjadinya keributan yang lebih besar lagi.

Dari tulisan Major F.E. Crockett, peninjau militer Amerika Serikat di Jakarta, yang dimuat dalam majalah Harper's terbitan bulan Maret 1946, hampir dapat dipastikan bahwa pihak Inggris sepenuhnya menyadari niat Belanda:
Sehubungan dengan pernyataan Inggris yang bersikap lepas tangan mengenai urusan politik, berdasarkan pengamatan selama ini jelas bagi saya bahwa Belanda akan dan bahkan sedang berdaya upaya untuk melibatkan campur tangan Inggris, yaitu dengan jalan membakar-bakar keresahan di kalangan penduduk pribumi. Saya tidak melihat alasan lainnya yang masuk akal untuk menjelaskan tindakan kasar yang dilakukan patroli-patroli Belanda. Keuntungan mana yang akan mereka petik dari siasat demikian, kiranya sudah jelas: dengan demikian pihak Inggris akan terlalu direpotkan sehingga tidak sempat melucuti persenjataan Jepang (yang merupakan sebab utama kehadiran mereka di sana) dan karenanya terpaksa mendatangkan lebih banyak lagi pasukan ke kawasan tersebut, hal mana berarti keterlibatan Inggris yang semakin berlarut.

Tetapi lambat-laun Inggris sadar juga bahwa mereka telah tertipu.

Sejak menerima kabar tentang meninggalnya Agung Nura, aku menyibukkan diri dengan berkelana mengelilingi daerah yang dikuasai Republik. Aku sering kepingin menjadi orang Indonesia asli, supaya bisa memandang kematian dengan cara mereka yang penuh ketawakalan, tanpa lama-lama berkabung.

Aku mendatangi Bung Tomo di Malang. Aku pergi ke markas gerilya di pegunungan dekat Mojokerto, di mana aku pernah tinggal bersama para pejuang. Mereka menahanku di sana. Aku pasti tinggal, jika bisa kuturuti kemauan hati. Tetapi aku sadar, untuk petualangan semacam itu masanya sudah berlalu. Sekembaliku ke Yogya aku mendapat kabar bahwa sekali lagi aku harus mengiringi perjalanan Presiden Sukarno. Tetapi sekali itu bukan ke timur, melainkan ke barat.

Hubunganku dengan menteri pertahanan dan dengan Bung Amir sebagai manusia biasa semakin bertambah akrab.

Suatu hari kawan lamaku, mayor dari dinas rahasia tentara datang berkunjung. Aku jarang berjumpa lagi dengan dia sejak ditangkapnya wanita ningrat yang berencana hendak menggulingkan pemerintahan yang sah beserta komplotannya, karena ia ditugaskan ke Jawa Barat.

Dari sinar matanya aku langsung tahu bahwa kedatangannya itu bukan kunjungan biasa-biasa saja. Dengan segera aku mendului, sebelum ia sempat mengatakan apa-apa.

"Bung," kataku, "kuperingatkan saja dari semula, aku tidak ingin terlibat lagi dalam kegiatan intrikmu. Kalau itu yang hendak kau sarankan, jawabannya sudah pasti tidak. Aku tidak mampu lagi menghadapi wanita ningrat yang berkomplot. Sekarang pun syarafku belum normal kembali, sejak kejadian yang dulu itu."

Mayor itu tertawa.

"Sekali ini tidak yang begitu," katanya. "Memang merupakan petualangan, tetapi bukan seperti yang kau bayangkan."

la meringis, menikmati keteganganku sementara ia sendiri mondar-mandir di beranda, "Kau mau pergi ke Australia untuk melakukan tugas?"

Tawarannya itu sama-sekali tak kusangka-sangka.

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang