Dua tahun hidup terkurung seorang diri jauh lebih ringan bagiku daripada bulan-bulan sebelumnya, ketika masih di bawah pengawasan langsung Kempetai. Tetapi siksaan bertubi-tubi dan kelaparan yang kualami sebelumnya, mulai menampakkan akibatnya.
Berhari-hari aku terkapar saja dalam selku, tanpa mampu menggerakkan lengan. Seorang dokter bangsa Jepang datang dua kali sehari untuk memberi obat dan membangkitkan semangat hidupku lagi. Tetapi tubuhku semakin lemah. Akhirnya dokter itu menyatakan, aku takkan bisa bertahan hidup lebih lama lagi dari dua puluh empat jam.
Beberapa tahanan bangsa Belanda dibawa masuk ke selku, untuk mengucapkan kata-kata perpisahan. Seorang di antara wanita Belanda yang datang, meminta ijin untuk berusaha menggugah minatku untuk tetap hidup dengan jalan hipnosis. Wanita itu mencoba mengang- katku lalu menggendong tubuhku, sambil meminta dengan sangat agar aku jangan putus harapan.
"Kami memerlukan dirimu, kami para wanita dalam penjara ini memerlukan dukungan semangatmu," katanya.
Tetapi kuminta padanya agar membiarkan aku mati dengan tenang. Setelah itu aku jatuh pingsan.
Keadaanku begitu terus selama dua puluh empat jam. Akhirnya dokter Jepang yang merawatku mengatakan bahwa aku sudah mati. Dokter itu masih hijau pengalamannya belum banyak. Orangnya juga masih muda. Selembar kertas dengan angka yang merupakan homor urut penguburan diikatkan ke ibu jari kakiku. Menurut rencana, aku akan diangkut saat fajar keesokan harinya, untuk dikuburkan.
Menjelang fajar, mataku terbuka. Aku sangat kedinginan. Tetapi aku sama-sekali tidak bisa bergerak. Bahkan bersuara pun tidak mampu. Saat itu kudengan gerendel pintu selku dibuka. Kudengar suara orang bercakap-cakap. Kemudian seruan seseorang, "Matanya terbuka! la masih hidup!"
Saat itu kesadaranku sudah cukup pulih. Begitu melihat etiket yang terikat ke ibu jari kakiku, aku langsung menyadari maknanya. Aku dianggap sudah mati. Tetapi orang Jepang ternyata sangat percaya pada takhayul. Mereka gempar, karena aku disangka bangkit kembali dari kematian. Dalam beberapa menit saja aku sudah dikerubungi Jepang-Jepang yang berbicara dengan ribut. Dokter memegang tanganku, meraba denyut nadi. Petugas-petugas Kempetai dipanggil, karena secara resmi aku masih tahanan mereka. Para petugas itu begitu terkesan, sampai memerintahkan agar selembar kasur dimasukkan ke dalam sel untukku. Mereka mengatakan, setiap hari aku harus diberi susu hangat serta telur.
Pikiranku masih kacau. Aku masih beranggapan bahwa Jepang-Jepang itu hendak menguburku hidup- hidup. Aku menjerit, mengamuk. Aku tidak bisa lagi dikendalikan. Petugas Kempetai sebenarnya hendak memindahkan aku ke Sumber Porong, ke rumah sakit jiwa yang ada di Lawang. Tetapi dokter yang merawatku menyarankan agar sebaiknya ditunggu dulu sampai aku sudah pulih kembali dari keterkejutanku.
Berhari-hari aku terbaring dalam keadaan setengah pingsan, mengambang antara hidup dan mati. Namun ketenangan dalam selku, begitu pula makanan yang diberikan, akhirnya berpengaruh juga terhadap keadaan kesehatanku. Pikiranku jernih kembali, walau aku masih belum mampu berjalan dan mengangkat lenganku lebih tinggi dari sebatas pinggang.
Kadang-kadang ada perwira Jepang yang datang menjenguk, untuk melihat keadaanku. Mereka bertanya padaku, bagaimana rasanya mati. Mereka juga bertanya ada tidaknya kehidupan sesudah mati dan siapa yang akhirnya akan memenangkan perang. Kujawab takkan ada yang sungguh-sungguh memenangkan perang, walau salah satu kemudian akan terpaksa bertekuk lutut.
Beberapa minggu kemudian pihak yang menangkapku mengatakan bahwa aku akan dipindahkan ke sebuah rumah sakit di kamp tawanan yang terletak di Jawa Tengah. Mula-mula aku melongo mendengar kabar itu. Kemudian timbul rasa tidak percaya bercampur curiga. Tetapi ternyata sekali itu mereka tidak bohong. Aku ditaruh di atas tandu, lalu diangkut dengan kereta api ke rumah sakit Ambarawa. Tiga ratus kilometer dari tempatku semula.
Saat itu Jepang sudah menyadari bahwa mereka akan kalah perang. Mereka tidak ingin ada warga negara Amerika nanti ditemukan dalam penjara, dalam keadaan sengsara karena siksaan dan hampir mati kelaparan. Apabila Sekutu nanti mendarat di Surabaya dan menemukan aku dalam penjara, akibatnya mungkin akan buruk bagi orang yang bertanggung jawab. Jadi lebih baik aku dipindahkan saja ke rumah sakit. Saat itu tinggal enam minggu sebelum penyerahan Jepang. Dan selama waktu enam minggu itu perlakuan terhadapku menjadi sangat baik Aku sudah dianggap manusia lagi.
Kisahku yang panjang-lebar tentang kehidupanku sebagai tahanan Kempetai ini tidaklah lantas berarti bahwa aku membenci orang Jepang. Kesimpulan demikian tidak tepat. Memang aku sangat membenci para penyiksaku. Tetapi setiap Jepang berwatak kejam yang kujumpai, diimbangi dua atau tiga yang baik budi. Aku yakin manusia Jepang yang baik jauh lebih banyak jumlahnya daripada yang jahat. Sama saja halnya seperti bangsa-bangsa lain.
Kemudian tibalah saat bulan Agustus 1945. Jepang menyerah. Rakyat Indonesia menyerbu rumah sakit dan kamp tawanan di Ambarawa, sambil berteriak. teriak. Jepang-Jepang dilucuti semua. Kami yang berada di balik terali bersorak-sorai sambil menangis. Kami saling berangkulan. Begitu indah rasanya saat itu.
Ketika orang-orang Indonesia yang menyerbu rumah sakit mendengar tentang diriku, aku langsung diangkut dengan truk ke sebuah rumah sakit swasta di Surabaya. Kemudian aku dipindahkan lagi, ke rumah peristirahatan seorang dokter bangsa Indonesia yang terkemuka di pegunungan. Saat itu bobot tubuhku hanya tiga puluh dua setengah kilo, tak ada separuh dari beratku dalam keadaan normal. Aku juga masih separuh lumpuh, baik jiwa maupun ragaku. Tetapi perawatan yang penuh kasih-sayang serta makanan bergizi yang diperoleh entah dari mana selama saat-saat yang serba sulit itu membawa keajaiban. Kesehatanku pulih dengan cepat.
Bangunan ringkih yang diciptakan Jepang, berdasarkan pada propaganda bohong: Asia untuk Asia, akhirnya ambruk. Rakyat Indonesia dengan semangat menyala-nyala untuk membalas dendam, terutama pada Kempetai yang sangat dibenci, menewaskan beratus-ratus penakluk yang sudah kalah itu, serta menjebloskan sejumlah besar ke dalam penjara yang dulu mereka kuasai. Banyak sekali orang Indonesia dan juga Cina yang telah mati setelah disiksa Jepang. Saat itu orang Indonesia tidak cenderung untuk mengampuni.
Aku mendengar kabar bahwa Cina kenalanku yang selalu kujuluki sang Profesor yang mulia, telah meninggal dunia dipenggal Jepang. Frisco Flip menghilang secara misterius. Aku tidak pernah mendengar apa-apa lagi tentang dia. Ada kabar yang mengatakan bahwa kapal yang ditumpanginya menuju Makasar dibom oleh pesawat Angkatan Udara Belanda di tengah laut, dan semua yang ada di kapal itu tewas karena tenggelam. Tetapi kenyataan sebenarnya tidak ada yang tahu.
Anak Agung Nura? Tidak ada kabar mengenainya, selama hubungan dengan Bali belum pulih. Tetapi aku merasa yakin itu takkan lama. Mungkin tak lama lagi aku akan sudah bisa kembali ke puri, yang selama sekian tahun merupakan rumah bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut Tantri
AventuraSaya terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul REVOLT IN PARADISE karya Muriel Stuart Walker, yang lebih dikenal sebagai K'tut Tantri. Di halaman awal bukunya K'tut Tantri menulis: Dengan mengecualikan orang-orang besar, maka beberapa nama to...