REINKARNASI

9 1 0
                                    

"Anda tidak memahami adat-istiadat di sini, begitu pula bahasa mereka," kata kontrolir Klungkung padaku ketika itu. Dan aku menjawab, itu bisa kupelajari.

Selama bulan berikutnya, banyak sekali yang kupelajari: baik bahasa, adat-istiadat, dan terutama penerimaan cara hidup yang asing bagiku dengan sepenuh hati.

Aku yakin, itu sudah merupakan takdir bagiku. Kalau tidak, kenapa aku bisa begitu cepat menganggap puri sebagai rumahku yang sesungguhnya?

Dalam berbagai hal, hidup di situ fantastis. Agung Nura dengan pendidikan Baratnya, bertanggung jawab untuk membimbingku dengan cermat memasuki kehidupan itu. Tidak pernah aku terlalu dibebani dengan hal-hal baru. Aku disiapkan secara berangsur-angsur, untuk menghadapi setiap hal yang tidak lazim.

Pelajaran bahasa bisa dibilang gampang bagiku. Pelajaranku dimulai di sekolah desa. Yang paling dulu menjadi guruku yang utama Anak Ara, putri Raja yang tertua. la tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu ia mengajarku dengan jalan menggambar benda-benda di papan tulis, lalu menuliskan namanya di bawah dalam bahasa Bali dan Melayu. Malam harinya Nura sendiri yang mengajar aku membaca dan menulis dalam bahasa Bali tinggi.

"Kau perlu hati-hati," katanya memperingatkan, "orang yang kedudukannya tinggi, hanya boleh disapa dalam bahasa tinggi. Kalau dengan petani, bicara dengan bahasa Bali rendah."

Yang terakhir ini sulit sekali bagiku untuk mengingatnya. Aku sering menyapa petani dalam bahasa Bali tinggi. Tetapi itu tidak apa. Mereka bahkan senang, disapa dengan cara demikian. Dan selaku orang asing di tengah mereka, aku merasa tidak sopan kalau berbicara dengan mereka memakai cara lain.

Nura juga mendesak agar aku mempelajari bahasa Kawi sedikit-sedikit, serta kesusasteraan kuno. Menurut pendapatnya, agar bisa memahami suatu bangsa, aku harus mengenal kebudayaan mereka. la menerjemahkan untukku catatan dan kisah-kisah yang tertulis pada daun lontar. Dengan segera aku sudah mendalami sejarah negeri itu, begitu pula buah karya para pujangganya. Ternyata kisah-kisah rakyat Bali mirip sekali dengan dongeng-dongeng Barat.

Lalu ada pula soal pakaian. Dari semula aku sudah ingin berpakaian menurut kebiasaan Bali. Tetapi aku segan mengemukakan keinginan itu. Aku senang sekali, ketika kemudian datang saran demikian dari kedua putri adik Nura.

Mereka membawakan kain, setagen serta sandal untukku. Begitu pula kebaya, atas permintaanku yang sangat. Aku menolak untuk berpakaian dengan dada terbuka. Kedua gadis itu tidak bisa memahami pendirianku itu. Mereka mengatakan, aku kan wanita seperti yang lainnya juga. Dan tidak ada yang memalukan pada tubuhku! Tetapi aku tidak bisa dibujuk.

Mula-mula mereka membantuku memakai kain. Setelah itu menyusul setagen, yang terbuat dari kain sutera tebal sepanjang empat atau lima meter. Putri Ara yang membantu melilitkannya ke pinggulku, sedikit demi sedikit makin meninggi, berbelit-belit.

"Terlalu erat - aku tidak bisa bernapas," kataku tersengal-sengal. "Ini lebih payah daripada korset. Aku merasa seperti mumi yang sedang dibungkus."

"Lama-lama kau akan biasa juga," kata kedua gadis itu sambil cekikikan. "Memang mesti erat, karena semuanya harus serba datar. Bagian pinggul tidak boleh menonjol. Harus diperoleh garis lurus. Bagimu lebih penting daripada kami, karena bagian belakangmu tidak selurus kami."

"Tetapi itu bagus," kata Agung Ara cepat-cepat, "dan masih tetap kelihatan, walau sudah dibalut erat-erat. Itulah yang paling dikagumi kaum pria kami. Kalau kami berjalan, tidak ada yang bisa merangsang. Kalau wanita kulit putih, lain."

Keterbukaan itu membuat aku tercengang. Tetapi keterbukaan seperti itu tidak menyinggung perasaan.

Kuamat-amati diriku, yang untuk pertama kalinya berpakaian Bali selengkapnya. Ara dan Ksiti berputar-putar mengelilingi, sementara aku meneliti hasil pekerjaan mereka dalam cermin. Mata mereka bersinar-sinar karena gembira.

REVOLUSI DI NUSA DAMAI - K'tut TantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang