fall

478 27 3
                                    

Jenharu
.

Haruto
Jeno

.

Haruto's side

Haruto termenung sendiri ditemani daun yang berjatuhan dan semilir angin. Menghirup dalam-dalam aroma musim gugur tahun ini. Samar-samar senyumnya merekah, membayangkan senyuman seseorang yang selalu mencuri perhatiannya.

Lee Jeno, seorang pemuda yang dua tahun lebih tua darinya. Si pemilik eye smile terbaik menurutnya dan si pemilik harum bak musim gugur yang ia hirup sore ini.

Haruto diam-diam merindukan kehadiran sosok tinggi yang baru saja ia temui siang tadi di cafe tempat kerjanya. Ia merindukan bagaimana bibirnya tersenyum dengan mata yang ikut tersenyum saat menyambut kedatangannya.

"Kak, maaf haru sudah kangen lagi."

Cicitnya dengan memandangi cincin yang tersemat di jari manisnya.

"Gapapa, kan ya? Kak Jeno juga pasti gini, kan?"

Ia meyakinkan dirinya supaya tidak memerah sendirian. Malu.

Diusapnya cincin perak dengan satu berlian di atasnya. Itu cincin pertunangan mereka. Satu tahun yang lalu, dua manusia itu resmi bertunangan. Hingga saat ini, mereka tidak pernah terlihat bertengkar. Saling percaya dan selalu mengabari satu sama lain adalah kuncinya.

Haruto berharap, semoga selamanya mereka akan selalu seperti itu.

"Haru, kenapa malah bengong di luar, sayang?"

Haruto terjengit, ia kaget mendapati suara Jeno di dekatnya. Sejak kapan lelaki itu sampai? Kenapa haruto tidak menyadari mobil yang terparkir di bawah?

"Kakak ko udah pulang?"

Jeno tersenyum dengan mengangkat kedua tangannya yang menggenggam cokelat panas dari cafe miliknya. Itu cokelat kesukaan haruto omong-omong.

"Ga tau ya, rasanya kangen aja sama kamu."

Lagi-lagi haruto memerah, bahkan telinganya sampai ikut memerah dibuat Jeno. Bukan karena udara yang dingin, ini murni karena salah tingkah dan Haruto tidak akan menyangkalnya.

"Kakak! Haru malu~"

Tawa Jeno terdengar, lalu tangannya ditarik untuk Jeno dekap erat. Haruto membalasnya tak kalah erat.

"Kakak kangen haru, makanya pulang cepat."

"Haru juga kangen kakak!"

Lihat, perasaannya terbalas. Haruto tidak rindu sendirian. Ia tidak jatuh sendirian.

"Ayo masuk, kamu hampir beku."

"Kakak ga usah lebay!"

Jeno tertawa lagi sambil menggiring haruto untuk kembali masuk ke rumah.

Setelah resmi bertunangan, mereka memang memutuskan untuk tinggal satu atap. Kedua orangtua mereka juga setuju saja, karena memang haruto dan Jeno sudah kenal sejak kecil. Jadi orang tua haruto sudah tidak khawatir dan mempercayakan haruto sepenuhnya pada Jeno.

"Besok aku ga bisa Anter ke kampus, ya?"

Sesapan pada cokelat hangatnya terhenti, "kenapa, kak?"

"Client minta ketemu jam sembilan. Maaf ya, besok berangkat sama Joan gapapa?"

Haruto tersenyum, bermaksud menenangkan Jeno agar tidak perlu merasa bersalah. Lagipula ia sudah besar, tidak perlu selalu diantar Jeno yang super sibuk itu.

"Gapapa, kak. Besok aku memang mau dijemput sama Joan, dia kalah taruhan tadi, jadi harus jadi supir pribadiku seharian!"

"Lagian, besok cuma bimbingan. Jadi kakak ga perlu khawatir, ya!"

Salah satu yang disukai Jeno dari Haruto adalah, calonnya ini sangat mandiri dan pengertian. Oh jangan lupa dengan pemikiran dewasanya. Jeno bersyukur bisa memikat haruto, si primadona kampus.

"Bagus deh kalau gitu."

Sore itu mereka habiskan dengan  kembali menikmati waktu berduanya sambil ditemani segelas cokelat hangat dan serial televisi yang sama sekali tidak dihiraukan, karena asik berbagi cerita satu sama lain hingga melupakan eksistensi televisi yang menyala di seberangnya.

.

Jeno's side

Jeno ingat saat pertama kali netranya melihat haruto. Waktu itu haruto hanyalah anak kecil dengan tangan penuh tanah, menghampiri dirinya sambil tertawa senang.

"Kakak! Hawu punya keik, kakak mam yaa!"

"Rasa apa, hawu cake-nya?"

"Cokelat! Hawu suka cokelat! Kakak suka gaaak?"

Jeno mengangguk sambil pura-pura memakan cake-tanah yang diberikan haruto. Dengan senang ia berkata bahwa kuenya enak, membuat Haruto yang dipuji langsung kesenangan bukan main.

"Kakak kalau sudah besar harus jadi papanya Hawu yaaa!"

"Hah? Hawu jadi punya dua papa, gitu?"

"No! Kakak jadi papa, seperti papa hawuu~ nanti Hawu jadi seperti mama~ mau ya, kakaaaak!"

Jeno yang saat itu berusia tujuh, hanya mengikuti alur permainan anak kecil yang ia tau bernama Hawu di  hadapannya. Tanpa tahu kalau ia akan benar-benar terjatuh dalam pesona haruto sekarang.

Kenangan saat itu begitu membekas dan Jeno sendiri tidak akan pernah mau melupakannya. Tidak tahu dengan haruto, mungkin tunangannya itu juga masih mengingatnya atau justru sudah melupakannya, Jeno juga tidak peduli. Haruto yang sekarang pun sudah membuatnya merasa begitu dicintai.

"Sayang, ayo ke kamar aja. Kamu kalau ngantuk tuh ngomong!"

"Tapi haru masih mau sama kakak, masih kangen~"

Benar, kan?

"Iya, tidur di kamar kakak kalau gitu mau?"

Haruto mengangguk dalam dekapan Jeno. Mereka memang tidur di kamar terpisah, belum sah kalau kata Jeno. Haruto sih mau-mau saja kalau satu kamar, toh Jeno tidak pernah aneh-aneh padanya. Paling jauh hanya kiss kiss saja.

"Gosok gigi dulu, sayang~"

"Ngantuuk kakaak!"

"Kamu habis minum cokelat loh, nanti sakit gigi aku ga mau nolongin ya!"

"Iya ih bawel!"

Dasarnya sudah sejak kecil mereka bersama, Jeno juga sudah tau luar dalam haruto bagaimana. Eits, sifatnya yaa~ jangan mikir kemana-mana loh!

"Ga usah cemberut! Jelek!"

Haruto mendengus saja sambil lalu ke toilet, meninggalkan Jeno yang tertawa sendirian di atas ranjangnya. Sambil mensyukuri hidupnya yang begitu berwarna atas kehadiran haruto. Ia tidak menyesal telah jatuh pada haruto, dan Jeno juga yakin haruto pun sama.

.

-fin-

.

Selamat hari Senin!
Semoga Seninnya menyenangkan yaa~~~

Makasi udah mampir, semoga suka^^

One shot | Haruto HaremTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang