•Pov Thea
Hujan deras pagi itu. Aku duduk seorang diri di teras balkon kamarku. Suara cacing di perut mulai rusuh karena jam makan siang sudah lewat, sedang mulut ini tidak berselera untuk makan apa pun.
Langit mendung sepanjang hari menuju petang. Hujan tak juga mereda. Mungkin ia juga tahu betapa sedihnya aku saat ini.
"Ma, Thea udah gagal. Tolong Mama jemput Thea di Jakarta? Thea ingin pulang, Ma!" Begitu yang aku katakan sama Mama lewat sambungan telepon.
Tidak ada jawaban yang Mama katakan padaku. Telepon singkat itu pun berakhir. Mungkin Mama juga bingung harus apa. Tidak mungkin aku kembali ke Kalimantan dengan tangan yang hampa.
Apakah aku harus mencobanya sekali lagi?
Namun, apakah Kak Dewa akan mau menemuiku lagi? Bukankah kemarin dia sudah memberiku ultimatum?
Mustahil dia mau bertemu denganku lagi. Dan, aku hanya kehilangan harga diriku sebagai wanita jika terus memohon padanya untuk menerima cintaku.
Aku bingung! Benar-benar bingung!
"Thea, kamu nggak kuliah?"
Suara Bu Retno membuyarkan lamuanku. Aku segera menoleh ke arah pintu. Kulihat, Bu Retno sedang berdiri di sana. Sambil menjepit batang rokok di kedua jari, ia menatapku.
Aku tersenyum tipis, lantas menggeser posisi dudukku saat Bu Retno bergerak maju padaku.
"Kamu sakit?" tanya Bu Retno setelah dia duduk pada sofa kosong di sampingku. Dia juga menyempatkan diri menyentuh dahiku dengan punggung lengannya.
Aku menggeleng, "Nggak, Mi. Aku baik-baik aja kok!"
"Terus kenapa kamu nggak pergi kuliah? Apa kamu lagi ada masalah?" Bu Retno bertanya lagi setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara. Matanya masih menatapku.
Kupalingkan pandangan sesaat ke sekitar sebelum menjawab pertanyaannya, "Hm, aku cuma lagi kangen aja sama Mama."
Bu Retno manggut-manggut, "Kalo kamu kangen sama ibu kamu, ya tinggal telepon aja! Apa susahnya?"
"Aku udah telepon, tapi aku ingin pulang."
"Pulang?"
Aku mengangguk menanggapi rasa kaget Bu Retno.
"Jangan cengeng begitu kalo mau hidup di Jakarta! Masa baru sebulan saja di sini udah mau pulang? Kalo ada masalah, kamu boleh ceritain ke Mami. Jangan merasa sendiri," ringkas Bu Retno. Dia memberanikan diri mengusap pucuk kepalaku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis menanggapi. Tak lama kemudian Pak Kardi datang. Dia memanggil Bu Retno. Mereka pun pergi dari kamarku.
Sepeninggal Bu Retno, aku kembali termenung. Kulihat permen lolipop dalam genggaman.
Sebelas tahun aku menyimpan benda pemberian Kak Dewa. Lolipop itu masih utuh meski sudah tak bisa kumakan.
Fuuhh ...
Kuhela napas panjang lalu membuang pandangan ke luar jendela.
Kak Dewa lagi apa ya?
Aku jadi kangen padanya. Tapi, pasti dia nggak bakal suka kalau aku mengirim pesan lebay.
Hatiku masih merindukannya. Entah bagaimana upayaku untuk melupakan Kak Dewa.
Aku mungkin akan meninggalkan Jakarta, tapi aku ingin melihat wajah itu sekali lagi.
"Kak Ali, boleh aku minta alamat rumah Kak Dewa?"
Kuusap wajah ini setelah mengirim pesan singkat pada Kak Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA ORDINARY LOVE [End]✔️
RomanceExtra Ordinary Love Menurut Thea, cinta itu seperti ombak, jika dikejar ia akan menjauh. Dan saat tak dihiraukan dia justru akan mengejar. Seperti dia yang mati-matian perjuangin cinta pertamanya pada cowok Jakarta bernama Dewa. Meski berkali-kali d...