•Pov Thea
Jam makan malam nyaris habis.
Aku melirik ke arah Mama yang sedang menikmati sendok terakhir nasi berkuah sup buntut di piringnya. Mama tampak biasa saja. Bahkan, dia belum menjawab pertanyaanku.
Fuuh ...
Sepertinya niatku untuk kuliah di Jakarta bakal kandas.
Dari rahut wajahnya dan cara Mama memperlakukanku sejak kami bicara di kamar dua jam yang lalu, aku yakin seratus persen kalau Mama akan melarangku pergi ke Jakarta.
"Thea, kalau sudah selesai makan. Baiknya kamu langsung tidur. Besok harus bangun pagi-pagi," ujar Mama. Caranya menatap cukup membuatku tertekan.
Aku tak merespons meski dengan sebuah anggukkan saja.
Rasa kesal dan kecewa memenuhi relung hatiku saat ini. Mama nggak setuju aku kuliah ke Jakarta. Dia kukuh ingin aku pergi ke Singapore besok pagi.
Sekarang aku harus apa?
Dalam hati, ingin sekali aku bicara sama Mama dan mengatakan padanya kalau aku sangat ingin ke Jakarta dan menemui Dewa.
Aku tahu Mama pasti tidak setuju. Percuma juga aku berdebat dengannya malam-malam begini.
Terlebih, Papa juga belum pulang. Tidak akan ada yang membelaku kalau aku kalah ngomong sama Mama.
"Thea, kamu denger Mama?"
Aku tersentak mendengar ucapan Mama. Buru-buru aku menatapnya.
"Iya, Ma. Denger kok!"
"Tunggu apa lagi? Sana ke kamar dan tidur!" Masih dengan tatapan yang dingin, Mama memerintahku.
Aku mengangguk pelan, lantas bangkit dari bangku. Ekor mataku melirik pada Mama sebelum memutar tubuh untuk pergi.
Mama masih sibuk merapikan meja makan, dan saat matanya tertuju padaku, aku bergegas kabur.
Setibanya di kamar, aku berdiri di tepi balkon. Kupandangi langit malam ini. Hitam. Tidak ada bintang sama sekali. Mungkin karena mendung. Lampu pesawat kelap-kelip mengalihkan mataku.
Dewa, jika ada tempat lain selain Jakarta yang bisa aku kunjungi, aku pasti akan datang ke sana untuk mencarimu.
Sebelas tahun ini, aku selalu berharap bisa pergi ke Jakarta dan bertemu denganmu.
Entah, apa kita bisa bertemu lagi atau tidak. Kupejamkan kedua mata ini seraya menarik napas panjang.
Kurasakan angin malam menerpa wajahku, dan membelai rambutku. Sejuk menelusup dadaku yang sesak.
"Ngapain berdiri di situ malem-malem? Nggak takut kesambet?!"
Suara bass itu mengejutkanku. Mata ini segera terbuka. Aku segera menoleh ke belakang.
Seorang cowok sedang menatapku heran. Aku tersenyum senang melihatnya.
"Kak Reno!" jeritku seraya melompat menuju cowok dengan postur tubuh tinggi di depanku kini.
"Apaan sih? Jangan deket-deket!" Kak Reno menyingkirkan kedua tanganku yang ingin memeluknya.
Aku mencibir kesal. "Belagu banget sih!" kesalku seraya mendorongnya.
Kak Reno malah tertawa kecil menanggapi, lantas dia menjawil daguku dengan gemas. "Sorry ya! Gue udah punya pacar sekarang. Jadi, elo enggak boleh maen peluk gue sembarangan!"
"Cewek bego mana yang udah Kak Reno tipu?!" cetusku kesal, lantas kupalingkan wajah ini saat dia menatap.
Kak Reno cuma geleng-geleng sambil senyum. Kemudian dia maju ke depanku. Kami kembali saling berhadapan.
"Gue denger, elo mau berangkat ke Singapore besok. Makanya gue kesini," ucapnya pelan. Senyuman di wajahnya berangsur pudar.
Aku melirik. Kak Reno menatapku dalam-dalam. Tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Reno Triyoga, dia anak Tante Mila. Lebih tepatnya anak angkat Tante Mila. Usianya lebih tua dariku tiga tahun. Bisa dibilang dia kakak sepupuku.
Mama pernah cerita padaku, Tante Mila memiliki masalah dengan rahimnya. Dia tak bisa punya anak. Kemudian, Tante Mila dan suaminya, Om Harun memutuskan untuk mengadopsi anak.
Kak Reno baru berusia dua minggu saat mereka membawanya dari rumah sakit.
Entah siapa orang tua kandungnya, Kak Reno tidak pernah tertarik untuk mencarinya. Meski dia tahu, jika dia bukan anak kandung Tante Mila dan Om Harun.
Usianya kini 23 tahun, sama dengan usia almarhum kakakku, Gala. Bahkan, mereka pernah satu sekolah waktu SMA.
Aku baru duduk di bangku kelas 7 saat Kak Gala meninggal. Saat itu aku sangat sedih. Kak Reno membuatku merasa memiliki kakak lagi. Dia baik, meski kadang suka nyebelin.
Rumah Tante Mila tidak jauh dari rumah kami. Nyaris setiap hari Kak Reno datang. Aku jadi nggak kesepian di rumah kalau Mama dan Papa belum pulang kerja.
"Elo lagi mikirin apa sih? Bukannya dulu elo bilang, kalo elo mau kuliah di Jakarta? Kok malah mau pergi ke SG sih?" Kak Reno bertanya padaku sambil mengeluarkan vape dari saku hoodienya.
Aku terperangah, "Mama nggak setuju kalo aku kuliah di Jakarta," jawabku dengan rahut wajah yang murung.
Kak Reno tersenyum tipis usai menghembuskan asap vapenya lebih dulu.
"Lagian, kenapa sih ngotot banget pingin kuliah di Jakarta? Gue yakin, setelah nyampe ke Jakarta, elo bukannya kuliah tapi cariin si cowok Lolipop itu 'kan?" cibirnya.
Aku mengerucutkan bibirku, lantas menatap kesal pada Kak Reno. "Nggak usah sok tahu deh! Aku bakal kuliah kok di Jakarta!" sanggahku.
"Ya, ya, kuliah tapi sambil cariin dia iyakan?" desak Kak Reno. Dia tersenyum miring mengejekku.
Aku mendengkus kesal, "Bodo amat!" cercaku hendak pergi, tapi Kak Reno malah mencekal lenganku. Kemudian menariknya mendekat. Aku sedikit kaget saat mata kami bertemu pandang.
"Lupain itu cowok, kuliah biar bener!" bisiknya ke wajahku.
"Apaan sih? Nyeremin tahu enggak?!" lirihku seraya mendorong dada itu dengan kasar.
Kak Reno nyaris jatuh terdorong. Aku tak peduli. Segera kuayunkan langkah ini memasuki kamar.
Kudengar derap langkah cepat yang menyusul. Aku tersentak saat dia kembali mencekal lenganku.
"Elo enggak boleh cari dia lagi! Dengerin gue!" Kak Reno berteriak ke wajahku. Matanya menatap amat tajam dan menyeramkan.
Aku menelan ludah kasar. Dia segera berpaling saat aku membalas tatapannya. Cowok aneh! Aku menggerutu setelah Kak Reno pergi begitu saja.
Sikap Kak Reno memang susah dimengerti. Kadang dia baik banget padaku, tapi kadang juga suka mengekang seolah aku ini benar-benar adiknya.
Dan, malam ini adalah sikap Kak Reno yang paling aku benci.
"Ren, besok kamu antar Thea ke bandara ya? Tante sama Om nggak sempat karena lagi banyak banget kerjaan di kantor. Nggak pa-pa 'kan?"
"Nnggak pa-pa kok, Tante. Biar Reno yang urus."
Tak sengaja aku mendengar Mama dan Kak Reno yang lagi ngobrol di lorong menuju teras. Sepertinya Kak Reno mau pulang, dan Mama mengantarnya menuju teras.
Apa yang tadi Mama bilang?
Mama sama Papa nggak bisa antar aku ke bandara besok pagi? Huh! Lagian siapa juga yang mau pergi ke Singapore.
Namun, setelah aku pikir-pikir. Alangkah lebih baik kalau Mama dan Papa tak bisa antar aku ke bandara besok.
Ya, aku bisa ambil tiket pesawat ke Jakarta. Masalah Kak Reno sih gampang!
Jakarta, aku bakal ke sana besok pagi. Bibirku mengulas senyum licik. Tidak Mama atau siapa pun yang bisa melarangku, aku akan berangkat ke Jakarta!
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA ORDINARY LOVE [End]✔️
RomanceExtra Ordinary Love Menurut Thea, cinta itu seperti ombak, jika dikejar ia akan menjauh. Dan saat tak dihiraukan dia justru akan mengejar. Seperti dia yang mati-matian perjuangin cinta pertamanya pada cowok Jakarta bernama Dewa. Meski berkali-kali d...