•Pov Dewa
Langkah panjang ini terayun menuju pintu keluar unit apartemen. Hingga tiba-tiba aku berhenti karena suara cicitan dari arah belakang.
"Kak Dewa, tunggu!"
"Kak Dewa!"
Thea?
Mau apa lagi sih tuh cewek?
Dengan malas-malasan, aku pun memutar tubuh tinggi ini sampai menghadap pada gadis mungil yang baru saja tiba di belakangku.
Thea menatapku dengan sendu.
Aku memasang wajah bosan menanggapi, "Kalo mau bahas kucing, gue nggak ada waktu."
"Kak Dewa, sayang kalo kucingnya dibuang! Biar aku aja yang urus, ya? Please ..."
Wajah Thea gemesin banget pas ngomong gitu.
Ku palingkan wajah ini seraya tersenyum tipis.
Aku nggak mau Thea melihatnya. Hingga kemudian aku menatapnya lagi. Gadis itu masih cemberut menatapku.
Dan itu sangat menggemaskan di mataku.
"Kasih gue alasan, kenapa elo ngotot banget pingin urus itu kucing?" tanyaku acuh tak acuh sambil pura-pura melihat jam tangan di pergelangan kiriku.
Thea tidak buru-buru menjawab, mungkin dia lagi mikir buat cari alasan.
Diam-diam aku melirik. Aku sedikit terkejut saat dia nyaris menangkapku yang sedang melirik padanya. Segera ku palingkan mata ini ke lain arah.
"Hm, kasihan kalo kucingnya dibuang. Lagian, kenapa Kak Dewa beli kucing kalo nggak diurus?" Thea berkata dengan sungkan dan kesal.
Aku masih enggan menatapnya. Aku nggak mau beradu pandang sama Thea.
Sambil memandangi langit-langit, aku pun berkata, "Bukan gue yang beli kucing itu. Jadi, ngapain juga gue mesti repot-repot urus itu kucing?"
"Terus kalo bukan Kak Dewa yang beli kucing itu, siapa dong?" tanya Thea. Kayaknya dia penasaran banget.
"Mana gue tahu! Tanya aja sama si Ali!" jawabku acuh.
"Kok aneh?" Thea garuk-garuk kepala tampak berpikir, dan itu terlihat sangat gemesin di mataku. Aku pun memandanginya lama-lama tanpa dia tahu.
"Wa, gue mau buang kucingnya!"
Sial!
Ali tiba-tiba datang. Aku pun segera menghentikan aktifitasku yang lagi mandangin Thea.
"Yaudah, buang sana jauh-jauh!" ucapku sama Ali.
Thea menatapku dengan wajah merajuk. Aku hanya memasang wajah bosan menanggapinya. Hingga kemudian gadis itu mendekat dan meraih lenganku. Aku menatapnya heran.
"Kak Dewa, please ... jangan dibuang kucingnya. Aku mohon, Kak!" Thea sudah hampir menangis.
Aku semakin gemas saja lihatnya.
"Apaan sih?" sinisku seraya menarik paksa lenganku darinya.
Aku hendak pergi dan tak mau peduli sama rengekan Thea.
Namun, gadis itu malah menyusulku dan mencoba menyambar lenganku lagi.
Sayangnya dia tak berhasil. Thea nyaris jatuh karena kakinya tersandung tepi meja.
"Kyaaaa!"
Dengan sigap aku menangkap Thea. Gadis itu jatuh ke pelukanku.
Aku dan Thea jadi saling pandang. Adegan ini mirip yang aku tulis di novel-novel romantis!
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA ORDINARY LOVE [End]✔️
عاطفيةExtra Ordinary Love Menurut Thea, cinta itu seperti ombak, jika dikejar ia akan menjauh. Dan saat tak dihiraukan dia justru akan mengejar. Seperti dia yang mati-matian perjuangin cinta pertamanya pada cowok Jakarta bernama Dewa. Meski berkali-kali d...