•Pov Thea
Hari mulai gelap saat aku tiba di sebuah rumah yang letaknya cukup jauh dari keramaian kota.
Tempat itu berada di pinggiran kota Jakarta.
Mataku menyapu ke sekeliling. Lokasinya begitu kumuh dan kotor di musim hujan begini.
Aku berjalan lamban sambil melihat-lihat. Laki-laki yang berajalan di depanku adalah Pak Kardi. Dia yang memberitahuku tentang lokasi rumah kos di daerah sini.
"Ayo, Neng!"
Pak Kardi tersenyum padaku seraya membuka pintu pagar besi yang tampak sudah usang. Dia mempersilakan aku memasuki pelataran sebuah rumah.
Aku mengangguk, lantas kuayunkan langkah ini menyusuri pelataran yang ditumbuhi beberapa pohon bugenvil.
Angin sore itu cukup kencang. Dahan-dahan bugenvil bergoyang karena embusannya. Kuntum yang sudah layu berjatuhan ke tanah tanpa ada yang mencegah.
Rumah itu cukup besar, bentuknya menyerupai sebuah villa. Modelnya sudah ketinggalan, tapi cat dindingnya tampak baru.
Sambil mengekor di belakang Pak Kardi, aku merasa sedang memasuki dimensi lain. Hawa dingin dan tampang rumah itu membuatku agak merinding.
"Ini rumahnya, Neng! Sebentar, Bapak cari pemiliknya dulu ya!" tukas Pak Kardi.
Aku hanya mengangguk.
Laki-laki paruh baya itu bergegas berjalan menuju serambi rumah. Sedang aku masih berdiri di depan teras sambil melihat-lihat.
Bug!
"Aw!"
Hantaman di punggungku membuat aku menoleh cepat dalam kaget. Kulihat sebuah bola tergeletak di bawah kakiku.
Bola siapa ini?
Setelah menatapnya lebih dulu, kuraih benda bundar itu dari tanah. Kemudian aku menyisir ke sekitar guna menemukan pemiliknya.
Seorang anak laki-laki melintas di depan pelataran. Usianya sekitar delapan tahun. Tidak salah lagi, pasti bola ini punya anak itu.
"Hei, Dek! Ini bola kamu?!" teriakku seraya memegang benda bundar dengan kedua tangan.
Anak itu menoleh.
"Bola kamu nih!" ucapku lagi seraya menyodorkan bola di tangan.
Anak itu hanya menggeleng, lantas dia berlari keluar dari pintu pagar rumah.
"Heh! Kok malah lari?" Aku geleng-geleng heran.
"Neng, ayo!"
Suara Pak Kardi mengejutkannku. Aku pun segera mengangguk menanggapinya.
Kulepaskan bola di tangan, lantas aku menyusul langkah Pak Kardi yang sedang menuju serambi rumah.
Ada tiga orang pemuda seumuran Kak Reno dan satu orang wanita yang usianya sekitar tiga puluh tahunan. Itu yang aku lihat setelah tiba di sana.
Mereka sedang duduk-duduk santai. Aku sedikit kaget melihat ada botol miras di atas meja.
"Bu Retno, ini Neng Thea. Dia yang mau ngekos di sini," ucap Pak Kardi pada wanita yang tengah duduk bersama tiga orang pemuda di sana.
Bu Retno menatap ke arahku.
Aku hanya tersenyum ramah menanggapi. Sementara tiga cowok lainnya melirik dengan tatapan yang membuatku sedikit ngeri.
"Thea, apa iya kamu datang dari Kalimantan?" tanya Bu Retno padaku. Dia menatap usai menghembuskan asap rokonya ke arahku.
Aku yang tidak terbiasa dengan asap rokok pun terbatuk-batuk dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA ORDINARY LOVE [End]✔️
RomanceExtra Ordinary Love Menurut Thea, cinta itu seperti ombak, jika dikejar ia akan menjauh. Dan saat tak dihiraukan dia justru akan mengejar. Seperti dia yang mati-matian perjuangin cinta pertamanya pada cowok Jakarta bernama Dewa. Meski berkali-kali d...