.
.
.Halilintar terbangun di ruangan putih, sejauh mata memandang.. Ruangan ini benar-benar seperti tidak memiliki apapun di dalamnya.
Kecuali satu objek yang baru saja Halilintar temukan. Seorang wanita berbalut baju zirah merah dengan logo petir di dadanya lengkap dengan pedangnya.
"Apakabar, Hali?"
Suaranya tidak asing, yaa.. Siapa lagi yang menunggunya di sini? Tentu saja sang pendahulu generasi pertama, Satriantar.
"Tidak baik.. Bagaimana kabar Maharani sendiri?"
"Saya? Haha, saya sudah mati Hali. Untuk apa menanyakan kabar, kau sendiri? Sesuatu terjadi?" Satriantar menatap Halilintar yang menunduk.
"Gejolak aneh saya rasakan tadi pagi, rasanya.. Seperti.. Entahlah, saya tidak tau. Tiba-tiba tubuh saya memanas, adik-adik saya mengira karena saya melewatkan sarapan setiap pagi.. Tapi bukan karena hal itu kan?" Halilintar menatap wanita di depannya dengan pandangan bertanya.
Sedangkan wanita itu malah memandang objek lain, menatap luasnya langit putih yang menjadi tempat pertemuan mereka saat ini. Satriantar tidak menjawab pertanyaan Halilintar, pandangannya terlihat meredup. Hal ini tentu saja membuat Halilintar bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau tidak menggunakannya lagi bukan?"
"Saya fikir.. Saya bisa lepas dari benda itu."
"Bodoh sekali, Halilintar.. Dengar. Setelah ini pertemuan kita selesai, kembali dan pastikan kau tetap hidup. Berhenti menyembunyikan sesuatu yang merugikan diri mu sendiri, adik-adik mu sudah besar dan mereka berhak mengetahui hal-hal semacam ini. Berhenti berbohong jika kau baik-baik saja, apalagi kehidupan kalian yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dari yang dulu. Belajar lah terbuka, sulung bukan berarti semua hal kau tanggung. Kau punya enam adik yang sekarang sudah sangat dewasa, berbagilah tentang rasa lelah mu,"
Halilintar memandangi wanita cantik itu yang perlahan menghilang, setiap ucapannya membuat Halilintar tersadar. Semua adik-adik nya memang sudah bukan anak kecil yang menangis ketika terjatuh, mereka sudah bisa berdiri sendiri dengan kaki mereka masing-masing.
Perlahan pandangan Halilintar menggelap dan di gantikan cahaya remang kamarnya.
Halilintar merasakan sesuatu yang menusuk di lengan nya, ia merasakan sesuatu masuk kedalam pembuluh darahnya dan segera membuka matanya.
"Solar?"
"Ah? Maaf.."
Hanya Solar, Solar....?
"Apa yang jau lakukan?" Halilintar bangun dari tidurnya dan menatap adik bungsunya. Di tangan Solar ada suntikan yang baru saja ia gunakan untuk menyuntik dirinya.
"Aku sudah menemukan apa yang kakak sembunyikan.. Kenapa tidak cerita jika itu benar-benar obat? Kakak sebenarnya sakit apa?" Solar menatap Halilintar yang masi pucat.
"Tidak ada.. Hanya saja.. Sebuah konsekuensi,"
"Konsekuensi? Maksud kakak, seorang pengendali elemental punya konsekuensi tersendiri?" Solar duduk di tepian ranjang.
"Bukan.. Hanya aku yang punya konsekuensi seperti ini, ini karena.. Aku terlalu memaksakan diri ku untuk mencapai puncak sehingga melewati batasan yang ada.." Halilintar menghela nafas sejenak.
"Dan batasan itu membuat ku harus menggunakan obat itu agar bisa bertahan. Aku tidak akan mati Solar, jangan menatap ku seperti itu." Halilintar merasakan ekspresi si bungsu berubah kontras pun langsung klarifikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brothers (BoBoiBoy Elemental) END
ActionKetujuhnya hidup bersama, saling menjaga satu sama lain hingga sebuah kejadian yang mengharuskan mereka menaruh perhatian lebih pada si sulung yang sedang terancam.