02. Luka.

5.9K 357 20
                                    

Pagi ini, Asha tengah sibuk  mengemasi barang – barang yang ada di kamarnya ke dalam koper. Yap,  seperti yang ibunya katakan kemarin, hari ini Asha akan keluar dari rumah orangtuanya ini, memulai kehidupannya yang baru bersama dengan Bian, dirumah lelaki itu. Sebenarnya, berat sekali untuk Asha pergi meninggalkan rumah ini, namun apa boleh buat? Asha sudah menikah dan dia harus ikut kemanapun suaminya itu pergi. Itu adalah keharusan yang harus Asha prioritaskan.

Sebelum beranjak keluar dari kamarnya, Asha menatap sekeliling kamarnya terlebih dahulu, mengenang semua kenangan yang tercipta dikamar ini. Rekaman kenangan – kenangan manis yang pernah terukir di kamar ini, menyeruak masuk ke dalam ingatan Asha. Asha memejamkan matanya, bersamaan dengan air mata turun membasahi pipinya. Asha pasti akan sangat merindukan kamar ini, merindukan semua orang yang ada dirumah ini.

“Gue gak paksa lo untuk ikut gue. Kalau lo mau tetap stay disini, gapapa, malah bagus.” ucap Bian.

Suara dingin itu terdengar dari arah belakang Asha. Asha menyeka air mata yang membasahi pipinya, lalu menatap seorang lelaki yang berdiri di belakangnya. Senyuman seketika terukir di bibirnya, tak ingin lelaki yang sudah berstatus sebagai suaminya itu melihat dirinya menangis.

“Aku mau ikut kamu, kok. Ayo kita turun,” ucap Asha.

Asha menutup koper terakhir yang ada di dalam kamarnya, lalu berjalan keluar dari kamarnya bersama dengan Bian. Asha menghampiri Risa dan Hendra yang tengah duduk santai di ruang keluarga untuk pamit.

“Bunda, ayah, aku sama Kak Bian pamit ya,” ucap Asha.

Risa beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Asha. Risa memeluk tubuh Asha erat, mengelus punggung anak perempuannya itu dengan penuh kelembutan.

Suasana haru tiba tiba tercipta. Asha mengangkat kepalanya, menahan air mata yang akan jatuh turun membasahi pipinya. Salma membalas pelukan Risa, mengelus punggung bundanya itu.

“Ingat pesan bunda ya, sayang. Nurut sama Bian, karena sekarang surga kamu ada pada diri Bian,” ucap Risa.

“Iya, bun,” ucap Asha. “Doakan aku terus ya, Bun. Maaf kalau aku belum bisa menjadi anak yang baik untuk bunda. Maaf kalau aku belum bisa membahagiakan bunda. Terimakasih ya, Bun, sudah berusaha menjadi bunda terbaik untuk aku. Aku bangga sekali punya ibu seperti bunda,” ucap Asha.

“Doa bunda akan terus mengalir untuk kamu dan Bian. Kamu sudah menjadi anak yang baik untuk bunda, Sha, dan bunda sangat bangga dengan kamu. Terimakasih ya, kamu selalu berusaha untuk menuruti keinginan bunda,” ucap Risa. "Bunda yakin, kamu bisa jauh lebih hebat dari Bunda," ucap Risa.

Setelah berpelukan dengan Risa, Asha beralih berpelukan dengan Hendra. Jika ketika berpelukan dengan Risa, Asha masih bisa menahan air matanya, kali ini ketika berpelukan dengan Hendra, Asha tak lagi bisa menahan air matanya. Air mata Asha turun membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, membuat Hendra langsung mengelus punggung anak perempuannya itu.

"Hey, gapapa. Kamu kenapa menangis? Takut jauh dari ayah dan Bunda? Gapapa, sayang. Kamu bisa datang kapanpun kerumah ini kalau kamu kangen sama ayah dan bunda. Atau nanti ayah dan bunda yang akan main kerumah kamu dan Bian, untuk tengok kalian," ucap Hendra mencoba menenangkan Asha.

Asha tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Asha hanya bisa menangis, benar - benar tak sanggup jika harus berpisah dengan ayahnya. Bagi Asha, ayahnya adalah segalanya. Ayahnya adalah satu - satunya laki - laki yang tidak akan tega menyakiti hatinya. Ayahnya adalah satu - satunya laki - laki paling tulus yang pernah dia kenal. Setelah ini, siapa yang akan menggantikan peran ayahnya ketika dia berpisah dengan ayahnya?

Hendra melepaskan pelukannya, menyeka air mata yang turun membasahi pipi Asha. Hendra mencium kening Asha, membuat Asha memejamkan matanya, dan bersamaan dengan itu air mata kembali turun membasahi pipinya.

Antara Cinta dan Benci (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang