10. Halo, Namaku Riq

69 22 186
                                    

would my voice be able
to break you
from your catatonic state?

***

Aku enggak tahu kenapa semuanya jadi kayak gini. Padahal, awalnya kami cuma mau ketemuan biasa. Yah, kapan lagi 'kan ketemuan sama seluruh member FLC dari seluruh penjuru Indonesia? Ketemu sama temen-temen beda pulau, beda daerah, menurut aku adalah sebuah ide yang enggak buruk-buruk amat.

Tapi, sial, kenapa tiba-tiba kami jadi terperangkap di ground floor dengan monster-monster aneh, sih?

Aku memutuskan untuk pergi ke ground floor karena di sini ada wahana ice skating ala-ala yang pakai papan licin alih-alih es betulan. Lumayan, mencoba hal yang menurutku hanya akan aku lakukan beberapa kali saja. Lagipula, aku belum pernah ice skating sebelumnya.

"Wahana" ini tidak terlalu luas. Tempat skating-nya saja bisa dikelilingi hanya dalam dua menit. Tapi, banyak anak-anak mengantri.

Terus, pas mau maju, tiba-tiba anak-anak di depanku berhenti dan terjatuh.

Enggak terjatuh, sih. Lebih tepatnya, berhenti setengah jatuh? Entah, tapi dia hanya condong ke depan sedikit dan tidak bergerak sama sekali. Kaget, aku mencoba buat perhatiin orang-orang lain, dan mereka juga diem aja.

Aku pikir awalnya mereka lagi ngelakuin mannequin challenge yang udah lama terkubur di internet. Tapi, enggak ada satu pun dari mereka yang berkedip.

Terlalu aneh kalau ini sesuatu yang direncanakan orang-orang mal. Apalagi yang bisa gerak hanya aku---

"RIQ!"

Kepalaku menoleh ke arah suara, kemudian dengan sigap merangkak cepat ke depan sebelum jari-jari yang menyerupai sangkar burung raksasa itu memerangkapku.

Buru-buru aku beranjak dari posisi telungkup, berlari sekenjang mungkin untuk bersembunyi di balik salah satu pilar lebar berbentuk kubus yang ditempeli dengan flyer iklan toko elektronik.

"SHIEEEEEEK!"

"SHIEEEEEEK!"

Napasku yang enggak sengaja kutahan kini kuhembuskan lega. Kepalaku menyembul di sebelah kiri pilar, memperhatikan bagaimana tubuh monster hitam itu mengecil seolah lintah yang diberi garam. Kemudian, lendir keluar dari sekujur tubuhnya sampai dia enggak bergerak.

Kepala monster tersebut---yang bentuknya mirip banget sama kepala elang, bedanya botak---tergeletak enggak jauh dari tubuhnya.

Aku memutuskan untuk keluar dan mendekati monster itu, lalu menepuk pundak pria yang masih terengah-engah dengan tombak yang terbuat dari beberapa potong mata pisau dari sepatu ice skating dan pipa besi yang kami temukan di jalur keluar darurat.

"Kakimu enggak apa-apa, An?" tanyaku.

Andrew menggelengkan kepalanya sambil menarik napas dengan serakah. Dia kemudian membenarkan kacamata yang lensanya udah retak itu. "Ngilu dikit sih, tadi mendaratnya enggak mulus."

Andrew ikut untuk mencoba wahana ice skating denganku. Awalnya, kami bersama Rara dan Lemon, tetapi kami berpencar karena Rara dan Lemon ingin membeli Chattime.

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang