37. Hei, Jatuhlah

17 12 246
                                    

there is no escape.
what are you fighting for?

"Apa?" sungut Riq ketika Eris menatapnya dengan kedua alis yang terangkat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa?" sungut Riq ketika Eris menatapnya dengan kedua alis yang terangkat.

Tangan pria itu meraih suatu benda pada pundak Riq. Sebelum dia bisa menghindar, Eris memperbaiki posisi rantai yang disampirkan pada pundak kiri rekannya. "Miring, nanti hilang."

Mereka adalah Kelompok Tiga, mendapatkan gerbang yang ada di rooftop untuk dihampiri. Jika diperhatikan, anggota kelompok ini kelihatannya lebih banyak penyerang dibandingkan pelindung. Harus diakui, strategi mereka pintar, mengingat perjalanan menuju rooftop adalah jalan yang paling panjang dan berbahaya.

Ada dua lantai yang harus mereka lewati, dan semuanya merupakan sarang dari kreasi Sang Beldam. Mungkin, mereka bisa melewati dua lantai itu lewat tangga darurat. Namun, katanya, mereka tidak mau mengambil risiko monster muncul dan harus bertarung di tempat sesempit itu.

"Aman, 'kan?" Qila bertanya kepada Rara, rekan kelompoknya; Kelompok Satu, di depan eskalator. Mereka akan berangkat bersama dengan Kelompok Tiga. Hanya saja, mereka akan memimpin jalan.

Rara mengangguk, memantapkan genggamannya pada tombak buatan yang ujung bilahnya dililit dan diikat berkali-kali agar tertancap dengan baik. Dia menoleh ke rekan sekelompoknya yang lain, dan mereka pun saling melempar sebuah anggukan guna menyampaikan bahwa mereka siap.

Qila mengangkat tangannya agar Kelompok Tiga yang bergerombol di belakang mereka melihat. "Kami udah siap!"

Eris mengacungkan jempol tinggi. "Oke!"

Dia berpaling ke belakang, menatap Andrew yang sesekali mengibaskan tangannya samar. Pria jangkung itu menyadari tatapan Eris, lalu mengangguk ketika pandangan mereka saling bertemu.

"Dadah, Kelompok Andrew imouto!" seru Eris diikuti oleh yang lainnya.

Bersamaan dengan itu, Kelompok Dua yang kebagian parkiran bawah tanah mulai berjalan ke arah pintu keluar. Andrew berjalan sendirian di depan, sementara rekan-rekannya yang lain membuntuti secara berpasang-pasangan, begitupun dengan Kelompok Satu dan Tiga yang jalan menaiki eskalator.

Ketika Andrew menapakkan kaki tepat di hadapan pintu keluar, dia berhenti seketika. Kedua matanya membelalak, mengernyitkan dahi sambil berbisik, "Temen-temen ... kalian lihat apa yang aku lihat, enggak?"

Walau tahu Andrew tidak sedang menatap mereka, mereka semua mengangguk.

"Floating islands ...," lirik Chita.

"Kenapa langitnya warna merah?" tanya Chacha. "Aku ngerasa tertekan cuma dengan pemandangannya."

Halaman mal itu retak; berada di ujung daratan. Mereka menyaksikan puing-puing daratan lain bertebaran di udara, diselimuti langit semerah darah dengan kilatan-kilatan petir menyambar tanpa suara.

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang