36. Hai, Selamat Tinggal

27 13 289
                                    

when the first flower blooms,
the last soul will finally wither.

Masing-masing permukaan yang terbuat dari metal itu bergesekan pada satu sama lain, membuat suara yang cukup menggelitik telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masing-masing permukaan yang terbuat dari metal itu bergesekan pada satu sama lain, membuat suara yang cukup menggelitik telinga. Kedua orang itu mundur beberapa langkah sebelum akhirnya kembali mencoba dan mengunuskan tombak buatan mereka masing-masing.

Haru menahan serangan Catris sekuat yang dia bisa. Namun, nampaknya pemuda itu menggunakan tenaga yang terlalu besar sehingga mata pisau yang dieratkan pada ujung gagang sapu milik sang wanita lepas.

Napas keduanya terengah, mereka berdiam selama beberapa saat dalam pose mereka; berdiri sambil menengadah dan rukuk seraya menarik napas panjang, membiarkan suara senjata teman-teman mereka terdengar menggema. Padahal, mereka berdua berlatih di halaman mal.

"Maaf, Kak Cat," ucap Haru sembari berjongkok dan memungut bilah pisau yang seharusnya menancap pada ujung gagang sapu.

Catris tertawa kecil. "Santai aja, aku emang jelek kok soal ginian. Aku bisanya jadi decoy."

Grup yang lain sedang berlatih menggunakan senjata mereka masing-masing, berjajar di halaman mal. Yang paling ujung, Chita dan Rizal, tengah berlatih berlari dan meloncat. Kelihatannya, sudah cukup lama mereka melakukan itu.

Di lobby, Sura, Ari, dan Tiara sedang membuat senjata lain dari rantai-rantai yang tersisa. Tak jauh dari tiga wanita tersebut, Karvin dan Eris sedang berdiri berhadapan dengan satu sama lain, dikelilingi oleh Andrew dan Qila.

"Coba sekarang," tutur Eris.

Karvin mengernyit. "Ke mana?"

"Ke Eris." Eris merentangkan tangan sambil menekukkan kakinya seolah memasang kuda-kuda.

Kini, Andrew yang mengernyit. "Masa nendang Kak Eris, nanti luka?"

Eris menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok."

"Ya udah," Karvin mengedikkan bahu sambil mundur beberapa langkah, "aku coba."

Pria tersebut kelihatannya menumpu semua berat tubuh pada kaki. Lalu, dia berlari sekencang mungkin ke arah Eris dan menutup mata. Kaki kanannya diayunkan, mengenai tubuh Eris.

Karvin berputar, menapakkan kakinya kembali setelah menghadap Eris. Dia tidak bergerak, bahkan matanya masih tertutup rapat. Ketiga orang yang mengelilingi Karvin saling bertukar pandang, menunggu sesuatu untuk terjadi.

Tidak lama kemudian, Karvin menarik napas panjang yang tajam seraya mencengkeram baju pada area dadanya. Dia melirik Eris, masih dengan napas yang memburu.

"Kak Eris ...?"

Eris hanya tersenyum. "Bisa, 'kan? Eris butuh Karvin."

Sementara itu, Qila mendekati Andrew. Dia berbisik, "Maksudnya apa, ya, Kak?"

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang