40. Halo, Namaku E-Ch-Hgvevm

25 12 356
                                    

in the nothingness of everything,
witnessing the gleaming crescent;
the most endearing shine,
is an uncanny reverie.

in the nothingness of everything, witnessing the gleaming crescent; the most endearing shine, is an uncanny reverie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelap.

Kosong.

Hampa.

Udah berapa lama saya memejamkan mata?

Ah, enggak.

Udah berapa lama sejak ledakan itu?

Ini bukan kematian; rasanya enggak kayak mati. Saya bisa ngerasain genggaman tangan saya dan kepala saya yang sakit karena cahaya yang terlalu terang. Rasanya enggak sakit, sih, saya enggak bisa ngejelasin, tapi rasanya enggak kayak melayang atau berdiri.

Rasanya saya ... air?

"Good morning, my child." Sebuah suara kedengeran memenuhi pendengaran saya, seolah datang dari segala arah. Kegelapan yang menyelimuti saya akhirnya hilang, digantikan oleh cahaya lain yang kelihatan redup.

Saya berkedip---seenggaknya, itu yang saya berusaha lakuin---untuk memperjelas pandangan yang buram.

Sosok siluet seseorang menggunakan topi ... fedora (?) terlihat membungkuk, menatap saya. Masih buram; saya enggak terlalu bisa melihat jelas siapa yang ada di hadapan saya.

Lebih tepatnya, di atas saya.

Wajahnya kelihatan enggak asing.

Enggak, bukan wajahnya; senyumnya.

Saya udah enggak ngerasa air. Di belakang saya ada sesuatu yang keras, tepatnya apa yang saya tidurin itu padat. Saya berusaha sebaik mungkin buat ngumpulin energi biar bisa duduk, tapi rasanya tangan saya aja kayak yang letoi; tangan mi.

Waktu saya buka mulut, sentuhan dari tiga buah jari mengurungkan niat saya. Berdiam cukup lama, pandangan saya pun berangsur-angsur menjadi jelas.

Saya tersentak ketika mendapati seorang pria dengan topi fedora yang menutupi setengah wajahnya berlutut di hadapan saya, mengenakan jas hitam dengan dasi biru yang gelap. Fedoranya memiliki warna yang senada, ditemani oleh tongkat hitam panjang dengan ujung bola perak yang berkilau.

Pria di hadapan saya tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Ketika tangan kanannya yang bebas digerakkan, sebuah suara terdengar.

"Bangunlah, semuanya sudah sunyi sekarang."

Mulutnya enggak bergerak sama sekali ketika suara itu muncul. Bersamaan dengan gerakan tangannya yang terhenti, suara pria itu pun menghilang.

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang