16. Hei, Jangan Mendekat

44 14 152
                                    

if there was a place
that safe and sound,
would you be as fine
to ruin the fun?

if there was a placethat safe and sound,would you be as fineto ruin the fun?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinding.

Resti dan Rav jelas-jelas melihat apa pun yang menarik Steven ke arah koridor di samping toko peralatan bayi, tetapi mereka dihadapkan dengan dinding yang rata dan kokoh. Rav sesekali meraba dinding tersebut, merasakan batu bata yang dicat putih, dingin dan padat.

Setelah berkali-kali menghadapi keadaan seperti ini, tentu saja rasa frustrasi tidak luput dari hati mereka. Rav mendengkus, menendang dinding itu dengan pelan. Dia berusaha sebaik mungkin untuk menahan emosi yang nampaknya akan meluap.

Sementara itu, Resti terduduk di depan seorang pria yang sedang berlari mengejar putrinya, kaku dan tidak bergerak, seolah mereka hidup dalam video yang di-pause lama.

"Kita harus nyari senjata," celetuk Resti. Awalnya, wanita tersebut berniat untuk berbicara kepada diri sendiri saja, melupakan fakta bahwa ia sedang bersama seorang teman. Rav akhirnya bergabung dengan Resti di lantai, sedikit lebih dekat dengan pintu masuk toko perlengkapan bayi.

"Kira harus nyari senjata," Resti mengulang kalimatnya dengan sedikit lebih lantang sembari menatap Rav, "tapi kita enggak bisa kalau biarin Steven gitu aja."

"Aku tahu, Kak," ucap Rav. "Aku juga bingung. Mal ini kayak enggak mau kita semua bareng-bareng. Kenapa sih setiap kita punya rencana, setiap kita berhasil mengeksekusi satu rencana dengan lancar, ada aja masalah yang muncul?"

Resti menghela napas sepelan mungkin. "Apa pun yang ada di balik kengerian ini, kayaknya benci banget sama kebersamaan."

"Tidak juga."

"Kenapa begitu?" Resti mengernyit sembari memeluk kedua kakinya.

"Karena dia menyukai kehancuran."

"Rav---"

Sebelum Resti dapat menyelesaikan kalimatnya, dia menyadari bahwa sekelilingnya bukan lagi lantai dua suatu mal di depan toko perlengkapan bayi, melainkan perumahan dengan nuansa yang begitu kelabu.

Resti dikelilingi oleh banyak rumah, pepohonan yang tumbang, mobil-mobil yang parkir sembarang dan berasap, serta jalanan aspal yang sepi. Langit di puncak kepala Resti tidak menampakkan matahari dengan jelas; bintang terbesar tata surya itu bersembunyi di balik awan-awan kelabu yang tidak bergerak.

Tentu saja perubahan lingkungan ini membuat Resti terkejut bukan main. Seluruh rumah, mobil, jalanan aspal, bahkan pohon-pohon dan langitnya pun persis seperti apa yang diceritakan oleh Catris; kota mati yang bergema.

Apakah Resti takut?

"Enggak," ucap Resti pada diri sendiri.

Bohong kalau dia tidak takut.

Resti menggelengkan kepalanya pelan, secara tidak sadar berjalan mundur tanpa melihat ke belakang. "Enggak, enggak."

"Aku enggak mau terjebak di sini berhari-hari."

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang