15. Hei, Kamu Percaya Padanya?

52 13 191
                                    

to the untold fear
I hold dear,
shall I crush
its beautiful agony?

Andrew mengerang sakit, menggigit bibir bawahnya ketika Riq menanjapkan mata pisau sepatu ice skating itu dengan kuat pada lengan bagian atasnya, tepat di perbatasan bagian yang terluka dan bagian yang tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andrew mengerang sakit, menggigit bibir bawahnya ketika Riq menanjapkan mata pisau sepatu ice skating itu dengan kuat pada lengan bagian atasnya, tepat di perbatasan bagian yang terluka dan bagian yang tidak.

Lolongan kengerian keluar dari mulut Andrew. Pria berkacamata itu mencoba untuk menahan suaranya agar tidak menarik atensi monster-monster lain yang kemungkinan ada di lantai ini.

"Seharusnya kita enggak melakukan ini," ucap Eris sesekali memalingkan pandangannya dari Andrew. Ini memang bukan ide yang baik. Pisau sepatu ice skating memang tajam, tetapi tidak cukup tajam untuk memotong tangan hingga putus.

Belum lagi, tidak steril. Namun, apakah mereka memiliki pilihan lain selain memotong tangan Andrew yang mengeluarkan lendir ungu? Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya jika luka itu dibiarkan. Bagaimana kalau itu infeksi monster?

Riq mengembuskan napas kasar. "Benar, Andrew bisa aja terinfeksi. Tapi infeksi bisa kita sembuhkan. Kalau dia jadi monster, mana bisa?"

Sekali lagi, mereka tidak punya pilihan.

Andrew bersandar di tembok bata yang dicat putih. Kedua manik matanya mengeluarkan air mata, wajahnya dipenuhi oleh keringat dingin. Napasnya tidak teratur; memburu dan kasar. Eris buru-buru menggantikan tempat Riq dan menutup luka terbuka dari lengan bagian atas Andrew yang telah dipotong agar pria itu tidak kehilangan banyak darah.

Riq mendapati tentakel-tentakel pipih yang menggeliut pada potongan lengan yang ia pegang. Terkejut, Riq langsung melemparnya menjauh dari mereka.

"Ada bagian dari monster yang memasuki tangan Andrew yang udah kita potong," Riq menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "artinya dia memang hampir terinfeksi."

"Benarkah?" tanya Andrew. "Jadi ... jadi kita enggak mengamputasi tanganku dengan sia-sia, 'kan? Aku enggak akan bisa ngetik dengan satu tangan."

Riq tertawa kecil. "Di posisi seperti ini, kamu masih memikirkan karier menulismu?"

"Enggak sih, aku 'kan kuliah. Ada banyak laporan yang harus aku buat."

"Oh, iya."

Eris mengikat balutan kemeja yang dia sobek dari toko di samping mereka. Kelihatannya, untuk saat ini, balutan kemeja itu cukup untuk menahan darah keluar dari lengan Andrew.

"Andrew imouto bisa berdiri?" tanya Eris. Pertanyaan itu tidak dijawab dengan gestur tubuh maupun suatu kata, melainkan dengan percobaan untuk beranjak dari posisi duduk. Alih-alih berdiri, Andrew malah kembali terduduk dengan kasar.

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang