31. Hei, Menangislah

29 14 308
                                    

you shouldn't have bitten the apple
as it is now a dangerous battle
between the execration
and the benediction.

you shouldn't have bitten the appleas it is now a dangerous battlebetween the execrationand the benediction

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sialan!

Pria dengan jaket berwarna hitam itu menengadahkan kepalanya sedikit, menatap ke arah pisau yang baru saja dilemparnya. Pisau dapur tersebut dilumuri cahaya merah.

Keparat basah! Lemparannya mengenai dahiku, sialan!

Eris melangkah ke depan untuk lebih dekat dengan Steven, tetapi masih berdiri beberapa langkah di belakang Steven dan beberapa langkah di depan Kripik, Andrew, Qila, serta Hicchan yang melihat pisau ini dengan tatapan penuh horor. Namun, berbeda dengan mereka berempat, Eris justru tersenyum.

Dia menatapku.

Aku tahu dia baru saja membuat kontak mata.

Berdiam diri di sini bukanlah hal yang baik. Aku harus pergi.

Aku harus pergi.

Aku harus cari tahu mengapa Si Jamet itu bisa merasakan keberadaanku. Seharusnya, tidak bisa.

Dia tidak punya kemampuan untuk itu, 'kan?

***

"Udah, udah. Tangan kalian nanti tambah parah. Kita diem aja dulu, oke?" Wanita berhijab dengan jaket ungu itu menggenggam tangan gadis berkemeja yang ujung-ujung tangannya mulai berdarah.

Niina menggelengkan kepalanya pelan. "Aku enggak tahu kenapa kita enggak kehabisan oksigen, padahal kita berempat di sini, tapi aku enggak bisa kalau harus diem terus."

Satu-satunya pria yang ada bersama mereka mengangguk kecil. "Ada sesuatu yang aneh, dan kita malah terjebak di sini dan enggak bisa pergi ke mana-mana."

Chacha mengembuskan napas kecil. "Aku tahu, kok. Aku juga sama paniknya sama kalian. Aku juga mau keluar dari sini. Tapi, kita bahkan enggak gerak-gerak."

"Mungkin kita harus teken tombol emergency-nya sekali lagi," usul wanita dengan rambut sebahunya yang lurus.

Rian menggelengkan kepala. "Enggak bisa, udah 23 kali kita teken tapi enggak terjadi apa-apa, 'kan?"

"Kamu hitung?" tanya Tara dengan kerutan pada dahi.

Pemuda itu mengedikkan bahu. "Gabut."

Aku tidak bisa mengetahui apa yang telah terjadi kepada mereka.

Ke mana mereka akan pergi? Mengapa mereka hanya berempat? Apakah mereka berpisah dengan rombongan mereka, seperti Kripik, Resti, dan Rav dengan Hika, Ren, dan Lav? Tombol lantai berapa yang mereka tekan?

Sialan, Steven.

Tara mendengkus. Dia akhirnya duduk bersila di bawah deretan tombol lantai pada lift yang mereka semayami. Lift ini bisa dibilang cukup luas, pada stiker yang ada di atas baris tombol lift, dicantumkan bahwa ruang bergerak itu bisa mengangkut sekiranya 15 orang dalam sekali jalan.

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang