12. Hei, Berbaliklah

59 21 178
                                    

hush and shush.
can you feel the dread
seeping in, undisturbed?

***

BRUK!

Andrew menatap tentakel berlendir itu dengan penuh horor. Kalau saja dia tidak menunduk, bisa-bisa yang berlubang bukan dinding di belakangnya saja, melainkan tempurung kepalanya.

Kengerian akan kenyataan bahwa dia bisa saja mati saat itu juga membuat getaran ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Tangan dan kakinya tidak bisa dia gerakan, tetapi dia berusaha untuk menyakinkan diri bahwa ini bukan saatnya untuk ketakutan.

Ini saatnya untuk membunuh makhluk jelek di hadapan mereka.

"Lepasin Rei dari sana, Riq!" seru Eris.

Oh, iya. Dan melepaskan Rei.

Andrew menghela napas. Tangannya mengeratkan genggaman pada tombak buatan. "I can do this."

Tidak beberapa lama setelah Eris menyampaikan bahwa Rei yang ada bersama teman-teman lainnya adalah Rei palsu, beberapa tentakel berlendir yang kurus keluar dari arah kanan ujung koridor.

Tentakel-tentakel itu bergerak secara dramatis; menggeliat ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, merusak dinding-dinding koridor hanya dengan gerakannya. Hal itu menunjukkan bahwa tentakel makhluk apa pun yang sedang mereka hadapi, walau terkesan kurus, juga kuat bukan main.

Riq dan Andrew sesekali berhasil memotong tentakel-tentakel yang hampir mengenai mereka. Tentakel-tentakel yang mendarat di lantai tidak berhenti bergerak; tetap menggeliat sampai akhirnya mengerut dan diam.

Sayangnya, tentakel yang sudah berhasil mereka potong beregenerasi tidak sampai satu menit kemudian.

"Andrew, ke kiri!" Riq berteriak.

Andrew dengan sigap melompat ke kiri, menghindari tusukan maut dari tentakel yang baru saja beregenerasi. Dia berlari secepat yang dia bisa, mengangkat tombak buatannya kemudian memotong tentakel yang tadi menargetan dirinya.

"Kalau gini terus, enggak akan abis. Kita harus ke belakang," usul Andrew.

"Kak Eris." Riq berkata dengan napas pendek.

"Iya?" tanya Eris.

"Enggak, aku ngingetin Andrew kalau Kak Eris ada di sini. Kita enggak---WAH!"

Riq berlutut, menghindari tentakel yang menyapu udara di atasnya. Dia kemudian berdiri dengan bantuan tombak miliknya, menyiapkan kuda-kuda jaga-jaga tentakel monster di hadapan mereka kembali.

"Kita enggak bisa ninggalin Kak Eris di sini," lanjut Riq.

Andrew membenahi letak kacamata retaknya yang miring. "Kita juga enggak bisa ke depan sana sendiri-sendiri."

Tentakel-tentakel milik monster apa pun di depan sana masih menggila, seolah menyerang buta Riq, Andrew, dan Eris adalah satu-satunya tujuan dalam hidupnya.

Rei masih berada di tengah koridor, tidak bergerak, tertunduk, berkat Eris yang tidak melepaskan pandang darinya.

Eris mengedikkan bahu. "Eris bisa ke sana."

"Eh, ya," Andrew menoleh dengan cepat, "di saat kayak gini kita enggak bisa misah-misah. Kalau mau ke sana, bareng. Kalau enggak, ya enggak semua."

"Lagian kalau ke depan sana sendiri, belum tentu selamat," imbuh Riq.

"Tapi Eris bisa ke sana," kukuh Eris.

"Kak Eris, kita udah ngikutin mau Kak Eris yang muter lewat sini buat ke Chattime dan sekarang kita dicegat monster aneh dengan tentakel kurus kering yang punya kekuatan baja," Riq berkacak sebelah pinggang, "aku enggak yakin ngikutin apa---"

Where Do We Go? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang